SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Foto saya
Kupang, NTT, Indonesia

Selasa, 21 Oktober 2008

PERTAHANAN NASIONAL DAN DEMOKRASI


Saat ini, persoalan yang paling mendesak dan menjadi kewajiban sipil adalah perumusan dan penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI. Keberhasilan pembangunan landasan hukum ini sebenarnya sangat terkait dengan visi politik dan transformasi militer yang dimiliki sipil.
Tentang bagaimana pemimpin sipil mampu membangun militer yang profesional
dalam tatanan demokratis.

Faktanya, sampai hari ini, ketidak-sepakatan di kalangan pemimpin sipil tentang konsep keamanan negara menjadi sebab dari inkonsistensi regulasi yang ada.

Persoalan menjadi semakin kompleks dengan adanya wacana sipil yang mengatakan bahwa demokrasi dan militer adalah dua hal yang tidak dapat disatukan. Pemikiran seperti ini hanya membuat sipil semakin tidak memahami fungsi militer-nya. Seakan-akan, militer tidak dibutuhkan lagi dalam demokrasi. Padahal, pembangunan demokrasi sebuah negara sebenarnya membutuhkan “pengawal.” Demokrasi yang mengakomodasi perbedaan, faktanya akan melahirkan banyak kepentingan yang perlu dikelola dengan tepat. Pada titik inilah, peran militer yang kuat guna menjaga demokratisasi di sebuah negara yang berdaulat, sangat dibutuhkan.


Militer dan demokrasi bukanlah sesuatu yang bertentangan.

Bagaimanapun juga, militer hadir sebagai komponen inti untuk menjaga kedaulatan negara dan pilihan rakyatnya untuk berdemokrasi sesuai dengan tujuan nasional yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, Amerika Serikat, sebagai negara yang mengklaim paling berdemokrasi di muka bumi, pada faktanya memiliki militer yang paling kuat di dunia.

Persoalan di atas minimal dapat dilihat dari prioritas kebijakan sipil terkait dengan pemisahan TNI dan Polri serta pemaknaan atas pertahanan dan keamanan yang diatur dalam Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000. Akibatnya, pembangunan kekuatan Polri mendapat first priority dengan anggaran yang besar, di mana TNI akhirnya menjadi second piority. Kebijakan ini dibangun berdasarkan pertimbangan bahwa ancaman militer tidak akan datang dalam kurun waktu 5 sampai 15 tahun mendatang. Di sisi lain, Polri langsung bertanggung jawab kepada Presiden, sedangkan TNI di bawah Menteri Pertahanan.

Di samping itu, UU No.3 tahun 2002 tentang pertahanan ditetapkan sebagai rujukan untuk menyusun UU TNI, UU keterlibatan rakyat sebagai komponen cadangan, penentuan sumber daya nasional sebagai komponen pendukung, serta penyusunan Dewan Pertahanan Nasional. Sedangkan UU Kepolisian Negara langsung merujuk kepada Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000 serta menempatkan posisi Polri untuk tidak terlibat atau tidak melibatkan diri dalam Sishankamrata sebagai strategi nasional.

Di samping itu, terbatasnya kemampuan pemerintah memenuhi kebutuhan anggaran TNI yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit maupun perbaikan dan peningkatan kualitas serta kuantitas alutsista, juga merupakan salah satu konsekuensi dari transformasi militer yang sampai saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi.

Bahkan, prosedur penurunan anggaran TNI pun masih harus melalui proses birokrasi yang panjang, mulai dari Departemen Keuangan, Bappenas, DPR, dan Departemen Pertahanan. Akibatnya, instruksi anggaran TNI yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan, dalam pelaksanaannya terlambat dua, tiga sampai empat bulan.

Bagi TNI sendiri, akibat dari adanya inkonsistensi kebijakan sipil dan keterbatasan anggaran, menyebabkan banyaknya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Belum lagi masalah alutsista yan gmencuat belakangan ini sehubungan dengan statement Presiden SBY terkait musibah Balongan.

Padahal yang terpenting bukanlah semata-mata persoalan mana senjata yang perlu diganti dan mana yang masih layak untuk dipakai. Lebih dari itu, dalam membangun TNI yang profesional dan berwibawa di mata internasional, diperlukan sebuah grand design atas Postur TNI yang ideal.

Kita semua tahu bahwa ideal berbeda dengan kenyataan. Namun demikian, tanpa mampu merancang bentuk TNI ideal, kita tidak akan pernah tahu ke mana tujuan TNI dan bagaimana TNI yang kita cintai ini harus dibangun. Bagaimanapun juga, hal ini sangat dibutuhkan sebagai panduan dalam mencapai cita-cita pembangunan Postur TNI yang kuat, berwibawa, dan profesional.

Terkait dengan persoalan gelar kekuatan TNI, secara ideal, dengan mempelajari luasnya wilayah daratan, lautan dan udara, serta daerah perbatasan dengan negara tetangga yang dihadapkan pada potensi ancaman, dapat di bagi kedalam empat wilayah pertahanan, dan menurut saya secara umum, kekuatan TNI AD yang ideal harus menggelar sebanyak 816 batalion tempur dan teritorial, 4 divisi terpusat (Kostrad dan Kopassus) serta 16 skuadron heli-serbu dan heli-angkut. Sedangkan kekuatan TNI AL yang ideal menggelar sebanyak 14 skuadron tempur (KRI), 42 skuadron terbang (KAL) yang berada dalam 4 kapal induk, 4 strategic section dengan kekuatan 14 kapal selam dimana 4 unit diantaranya strategic submarine serta 14 brigade marinir. Terakhir, kekuatan TNI AU yang ideal menggelar 140 skuadron tempur, 7 skuadron bomber, 27 satuan pertahanan udara, 40 satuan radar, dan 1 satuan strategic missile (Connie, 2007).

Menurut Tim Huxley (2005), Singapura sebagai negara kota harus memiliki posisi tawar di Asia Tenggara, terutama dengan dua negara besar yang mengapitnya, Indonesia dan Malaysia. Maka, SAF (Singapore Armed Forces) harus kuat dan memiliki kredibilitas di Asia Tenggara, tidak sebatas untuk mendukung kepentingan politik Singapura, namun juga menjaga keamanan regional. Maka, sejak tahun 1990, kebijakan luar negeri Singapura dibangun secara luas sebagai bentuk soft politics yang didasarkan pada kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer.

Berangkat dari kondisi ini dan juga memahami bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, maka, setidaknya, TNI harus memiliki postur dengan kapasitas alutsista, SDM, dan anggaran yang disesuaikan dengan cakupan wilayah dan kondisi demografis berdasarkan karakter setiap angkatan dengan memperhatikan pula fakta atas keseimbangan kekuatan militer di Asia Tenggara dan Asia Pasifik.

Kekuatan TNI yang ideal yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas setiap karakteristik matra pertahanan berdasarkan kebutuhan spesifik atas alutsista, jumlah dan kemampuan personel serta special force-nya dan juga forcasting anggaran pertahanan yang diperlukan, sebenarnya dapat diturunkan jika grand strategy telah dirumuskan dan kebijakan yang tepat telah ditetapkan.

Persoalan ini sangat membutuhkan kapasitas visi politik sipil dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Dengan adanya komitmen yang kuat, niscaya sipil dapat merumuskan kembali transformasi militer secara tepat menuju TNI yang profesional sesuai tuntutan negara yang 'berdemokrasi'.