SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Foto saya
Kupang, NTT, Indonesia

Selasa, 23 Februari 2010

ACFTA: Berkah atau Bencana bagi Indonesia?

ACFTA: Berkah atau Bencana bagi Indonesia?
Tuesday, 23 February 2010
Sejak 1 Januari 2010, perjanjian perdagangan bebas antara China dan enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam) yang lebih dikenal dengan ASEANChina Free Trade Agreement (ACFTA) telah dimulai.


Perjanjian yang menyepakati adanya ASEANChina Free Trade Area (ACFTA) sebenarnya sudah direncanakan sejak 2002 dan ditandatangani pada 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja.Konsekuensi dari adanya perjanjian tersebut adalah pembukaan pasar dalam negeri secara luas untuk dapat dimasuki barang-barang industri dari negara yang ikut dalam perjanjian tersebut. Tidak dapat dimungkiri posisi China yang sangat berpengaruh pada tataran perekonomian internasional membuat setiap negara ingin melaksanakan kerja sama dan berguru kepada mereka seperti ungkapan “belajarlah hingga ke negeri China”.

Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan China yang sangat pesat saat ini merupakan langkah nyata keberhasilan Pemerintah China dalam membangun perekonomian dan perdagangan internasionalnya. Perekonomian China yang berorientasi pada ekspor menjadi tantangan bagi negaranegara di dunia, khususnya negara berbasis industri. Namun, sudah seharusnya Indonesia tidak hanya belajar dari keberhasilan China dalam membangun perekonomiannya, tetapi juga harus belajar dari pengalaman bangsa lain tentang China, khususnya dalam hubungan dagang internasional dan mentalitas atau kebijakan dalam negeri yang mereka laksanakan.

Pro dan kontra keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian tersebut sangat jelas terasa.Pihak yang pro menyatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA tidak berarti ancaman serbuan produkproduk China ke Indonesia, tetapi merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke China dan negara-negara ASEAN serta peluang tumbuhnya investor dari negara-negara tersebut yang akan menanamkan modalnya di Indonesia guna membuka lapangan usaha baru untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia. Di samping itu, dengan adanya ACFTA, konsumen di Indonesia juga akan diuntungkan dengan adanya barang-barang yang lebih murah yang akan masuk ke Indonesia sehingga daya beli masyarakat akan naik.

Pandangan akan keuntungan yang didapatkan Indonesia dengan keikutsertaannya dalam ACFTA ini berbeda dengan pihak yang menentangnya. Ada kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut bagi kelangsungan hidup industri lokal,khususnya industri mikro, kecil, dan menengah yang saat ini masih berjalan terseok-seok. Mereka menganggap bahwa saat ini kebijakan-kebijakan pemerintah belum dapat menaikkan daya saing industri mikro, kecil, dan menengah di tengah kancah industri internasional, apalagi dengan adanya kebijakan baru dengan dibukanya pasar bebas tersebut sehingga ditakutkan industri mikro, kecil, dan menengah akan semakin terpuruk dan mati secara mengenaskan.

*** The show must go on, inilah istilah yang tepat yang harus diterima masyarakat Indonesia dengan telah diberlakukannya kesepakatan ACFTA tersebut. Pelaksanaan ACFTA seharusnya tidak menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Memang tidak dapat disangkal bahwa di satu sisi kesepakatan tersebut akan banyak menguntungkan bagi para konsumen. Sementara di sisi lain juga dapat mengancam kelangsungan hidup produsen lokal. Akan tetapi dengan telah ditandatanganinya kesepakatan ini sejak lama,masyarakat Indonesia haruslah yakin bahwa pemerintah sudah memikirkan hal tersebut matang-matang.

Masyarakat juga harus yakin bahwa pemerintah telah mempersiapkan segala sesuatunya baik sarana-prasarana serta kebijakan tambahan yang benar-benar prorakyat maupun langkah-langkah dalam menangani konsekuensi negatif yang ditimbulkannya. Dengan demikian keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA dapat benar-benar membawa manfaat dan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa,dan negara. Jika hal tersebut dilihat dari sudut pandang dalam sistem ekonomi Islam yang saat ini masih terus berkembang,kewajiban negara dalam hal ini pemerintah telah diatur, salah satunya untuk memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal, dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi rakyatnya.

Selain itu, negara juga berkewajiban mengatur ekspor dan impor barang sehingga benar-benar dapat mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Pembatasan ekspor bahan mentah dan peningkatan ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri adalah juga merupakan tugas dari pemerintah, demikian halnya dengan pembatasan impor barang-barang yang dapat mengancam industri dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih tegas dalam menerapkan semua kebijakan yang ada dengan memastikan bahwa barang-barang yang masuk ke Indonesia adalah merupakan barang-barang yang legal.

Kesemuanya harus sesuai dengan standar yang ada di Indonesia dan memiliki kepastian akan kehalalannya.Semua itu harus dilakukan pemerintah karena negara adalah pelindung bagi rakyatnya. Di sisi lain, para pejabat dan masyarakat harus lebih meningkatkan sikap nasionalismenya dengan lebih mencintai produk-produk dalam negeri karena hal inilah yang akan menjadi tumpuan bagi tetap eksisnya keberadaan produk-produk lokal.

Para pengusaha juga harus lebih meningkatkan daya saing dengan lebih meningkatkan mutu produk dengan selalu berinovasi guna memperoleh pasar lebih besar yang terbuka di negara-negara ACFTA serta meningkatkan ketahanan mental spiritualnya karena hal tersebut merupakan kunci sukses bagi para pengusaha. Demikian juga dengan para politikus, guna menghadapi ACFTA ini janganlah saling menghujat, tetapi bantulah dengan aksi nyata baik kritik yang bersifat membangun maupun bersifat solusi bagi semua pihak.(*)

H Karjadi Mintaroem
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga

Senin, 15 Februari 2010

Mencintai Disiplin
Wednesday, 10 February 2010

Di negeri ini, ternyata kalimat disiplin masih menjadi momok sebagian kalangan. Disiplin acap kali diartikan secara negatif. Bagi sebagian orang disiplin dipandang sebagai hukuman.

Dalam sebuah organisasi, lembaga atau perusahaan, sering kali kalimat ”perlu didisiplinkan” dimaknai sebagai tindakan tegas yang tak lain adalah hukuman. Di kalangan ilmuwan manajemen, masalah pengembangan kedisiplinan kerja para karyawan, menurut Paul Hersey, Keneth Blanchard, dan Dewey F Johnson dalam Management of Organizational Behavior memang merupakan salah satu masalah yang cukup sulit yang dihadapi seorang pemimpin dalam mengembangkan kinerja pegawai.

Salah satu penyebabnya, ya itu tadi, disiplin sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif atau sebagai sebuah hukuman. Padahal, disiplin memiliki makna positif, khususnya jika ditelaah dari makna asal kata disiplin tersebut. Disiplin berasal dari kata disciple yang memiliki arti learner.

Dengan landasan pemikiran seperti inilah, mereka menyebutnya dengan istilah constructive discipline yang berbeda dengan disiplin sebagai sebuah hukuman (punitive discipline). Pengertian disiplin yang bermakna positif ini dikemukakan pula Soegeng Prijodarminto dalam bukunya,Disiplin Kita Menuju Sukses. Menurutnya, disiplin adalah: Suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan atau ketertiban.

Karena sudah menyatu dengan dirinya, sikap atau perbuatan yang dilakukannya bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia berbuat tidak sebagaimana lazimnya. Definisi yang sangat menarik tentang disiplin pernah disampaikan seorang ulama besar dari Mesir, Prof Dr Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud. Menurut beliau, disiplin atau dalam bahasa Arabnya disebut indhibath adalah ”mewujudkan pelaksanaan atas tuntutan tugas atau mengendalikan suatu realitas atas tuntunan terjadinya sesuatu yang bersifat syar’i atau da’awi.

” Jadi, kedisiplinan dalam perspektif syar’i (syariat), artinya diukur berdasarkan kualitas ketaatannya kepada aturan yang berlaku di lingkungannya sendiri. Jika dilihat dari perspektif da’awi (dakwah), kedisiplinan ditentukan berdasarkan kualitas keberhasilannya dalam proses pembelajaran atau peningkatan kualitas pribadi dan sosial setiap anggota organisasi. Jadi,menurut Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud, disiplin adalah salah satu bentuk ukuran kualitas ibadah.

Seseorang yang kualitas ibadahnya baik, pastilah disiplinnya baik. Orang yang salat tepat pada waktunya adalah orang yang juga disiplin dalam mengerjakan segala hal yang menjadi tugasnya. Disiplin yang paling dahsyat adalah yang berangkat dari iman, dari keyakinan. Orang yang memiliki etos disiplin dari imannya akan menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, dan penuh kerelaan meskipun tugas itu berat. Jadi, disiplin adalah salah satu jenis akhlak.

Akhlak akan melekat dalam diri seseorang jika seseorang itu melakukannya berulang- ulang, sampai akhirnya menjadi karakter. Karakter akan mengkristal menjadi akhlak. Karenanya,disiplin harus diusahakan dan dilatih terus-menerus. Di kalangan pakar manajemen, ada dua pendapat dalam menjelaskan proses pendisiplinan kepada karyawan atau pegawai: Pertama, ada yang mengatakan bahwa disiplin itu harus muncul dari dalam diri sendiri.

Prijodarminto dalam hal ini mengatakan bahwa disiplin harus muncul dari dalam diri sendiri. Disiplin yang muncul dari dalam diri akan menciptakan kesadaran dan kepatuhan yang alami.Kedua, menyatakan bahwa disiplin dibentuk karena pengaruh dari luar. Dengan kata lain, maka makna disiplin itu adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses perilaku, melalui pelajaran, kepatuhan, ketaatan, kesetiaan, hormat pada ketentuan/peraturan dan norma yang berlaku.

Saya sepakat dengan pakar yang berpendapat bahwa hidup disiplin adalah sebuah kepribadian fitrah manusia yang harus ditumbuhkembangkan dengan pola pembelajaran. Atau dengan kata lain, belajar dan pembelajaran adalah sebuah proses aktualisasi nilai-nilai hidup disiplin pada diri seseorang sehingga mampu mengembangkan dirinya ke arah pola hidup yang sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.

Maka benar bahwa disiplin tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus ditumbuhkan,dikembangkan, dan diterapkan dalam semua aspek. Hidup disiplin perlu dikembangkan dalam tiga tahap yang saling berkaitan: Tahap pertama, stimulasi yaitu proses pembelajaran eksternal. Karyawan dilatih dan dikembangkan untuk senantiasa hidup berdisiplin.

Tahap kedua adalah proses internalisasi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pembinaan keinsanian sehingga nilai-nilai disiplin itu menjadi bagian perilaku hidupnya. Tahap ketiga, yaitu aktualisasi. Setiap karyawan diharapkan mampu mengembangkan potensi kedisiplinan sebagai kekuatan mental untuk meraih tujuan dan cita-cita kehidupannya, baik secara individual maupun organisasional. Disiplin seseorang merupakan produk sosialisasi hasil interaksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial.

Karena itu, pembentukan disiplin tunduk pada kaidah-kaidah proses belajar. Disiplin masih menjadi musuh bangsa ini, yang pertama-tama bisa kita usahakan bersama demi kemajuan bangsa ini adalah belajar untuk bersahabat dengan disiplin. Setelah akrab, kita bisa mencintai disiplin dan menghayatinya sampai akhirnya menjadi akhlak kita bersama. Karena kita semua tahu, disiplin adalah salat satu syarat kemajuan dan kejayaan sebuah bangsa.

Habiburrahman El Shirazy
Budayawan Muda, Penulis Novel Ketika Cinta Bertasbih


Kamis, 11 Februari 2010

GENERASI BARU TNI (BAGAIMANA SIPIL MENILAI PERWIRA TNI AD)

GENERASI BARU TNI

Saat Susilo Bambang Yudiyono (SBY) dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, hari ini, bisa dipastikan ajudan yang akan mendampingi SBY merupakan wajah baru. Mengingat ajudan yang lama, yaitu Kol Inf M Munir, telah dipromosikan pada pos pati sejak awal Oktober lalu (dengan pangkat brigjen), sebagai Kasdivif 1/Kostrad (markas Cilodong, Bogor). Hal yang sama juga akan berlaku bagi ajudan wapres, yaitu Kol Inf Meris Wiryadi, yang tak akan lagi mendampingi wapres (terpilih) Boediono. Mirip dengan Brigjen TNI M Munir, Kolonel Meris juga akan menjadi Kasdivif, tepatnya Kasdivif 2/Kostrad (Malang).

Baik Brigjen Munir maupun Kolonel Meris, adalah sama-sama lulusan Akmil 1983, sebuah generasi yang sedang menanti 'lokomotif' untuk segera dipromosikan, mungkinkah kedua mantan pendamping presiden dan wapres tersebut dapat berperan sebagai lokomotif sesuai harapan kolega seangkatannya.

Promosi bagi Angkatan 1983 seolah 'ter-kunci' karena harus menunggu se-lesainya penugasan Brigjen Munir dan Kol Meris sebagai ajudan. Sejak ketentuan usia pensiun bagi perwira diperpanjang dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun, promosi bagi (khususnya) generasi 1980-an memang sedikit tersendat.

Fenomena menarik justru terjadi pada angkatan berikutnya, yaitu lulusan Akmil 1984. Dari generasi ini sudah ada yang menduduki posisi pati, atas nama Brigjen TNI Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Angkatan 1984), yang sudah menjabat Sekretaris Pribadi Presiden, sejak setahun lalu.

Memang jabatan tersebut di luar struktur Mabes TNI, mengingat atasan langsung seorang sekretaris pribadi presiden adalah Mensesneg, bukan Panglima TNI. Namun begitu, penempatan Brigjen Ediwan Prabowo dalam posisi itu jelas merupakan peristiwa penting, walaupun di luar struktur TNI.

Brigif 17 dan Lulusan Terbaik
Perwira-perwira yang disebutsebut di atas adalah perwira yang sehari-harinya bertugas membantu SBY selaku presiden. Dengan begitu, bisakah dikatakan SBY turut berperan dalam menentukan promosi seorang perwira, bahkan promosi sebuah generasi? Bisa jadi memang iya, meski tidak secara langsung, mungkin istilah yang lebih tepat adalah mewarnai ketimbang berperan. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, tentu SBY memiliki privilese untuk menentukan pembantu-pembantunya, termasuk bila SBY ingin merekrut staf yang berasal dari TNI.

Bagi SBY mungkin lebih mudah mengambil SDM dari TNI karena tidak ada beban politisnya. Beda bila merekrut tenaga dari unsur parpol, di mana tarik-menarik kepentingan politiknya sudah menguras energi sendiri dan hanya buang-buang waktu.

Sebagai mantan petinggi TNI, tentu SBY sudah paham kualifikasi perwira macam apa yang kelak bisa meringankan tugas-tugasnya selaku presiden. Ada tren menonjol pada perwiraperwira yang terpilih membantu tugas-tugas kepresidenan, umumnya berasal dari Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad atau lulusan terbaik Akabri (khususnya Akmil). Dua unsur ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang SBY sendiri.

Sebagaimana kita ketahui, saat masih aktif sebagai tentara, SBY lama bertugas di Brigif 17, bahkan sempat menjadi komandan satuan legendaris tersebut pada 1992-1993. Kemudian saat lulus dari Akmil (1973), SBY menjadi lulusan terbaik.

Salah satu perwira yang berasal dari Brigif 17 adalah Brigjen Munir, yang juga pernah menjadi Komandan Brigif 17, sebelum ditarik ke Istana. Asumsi tentang pertimbangan asal-usul kesatuan, untuk pospos di sekitar SBY (selaku presiden), dalam hal ini dari Brigif 17, rasanya tidak berlebihan.

Sudah beredar kabar bahwa untuk ajudan presiden dan wapres baru nanti, telah terpilih perwira yang juga pernah bertugas di jajaran Brigif 17, masing-masing adalah Kol Inf Agus Rochman (ajudan presiden, Akmil 1988) dan Kol Inf MS Fadhilah (ajudan wapres, Akmil 1988).

Kol Inf Agus Rochman pernah menjadi Danyon Linud 305 Kostrad (Karawang), sementara Kol Inf MS Fadhilah pernah menjabat Danyon Linud 330 Kostrad (Cicalengka, Bandung).

Yonif 305 dan Yonif 330 (bersama Yonif 328), adalah satuan-satuan yang berada di bawah Brigif 17. Khusus bagi Yonif 305 dan Yonif 330, tentu memiliki kesan tersendiri bagi SBY pribadi karena pada dua satuan itulah SBY mengawali karier militernya dulu.

Jejak itu diikuti putra SBY, Kapt Inf Agus Harimurti (lulusan terbaik Akmil 2000), yang juga pernah bertugas di Yonif 305, hingga mencapai posisi danki (komandan kompi), sebelum melanjutkan studi di Singapura dan Boston.

Untuk kriteria lulusan terbaik, selain ada nama Brigjen Ediwan Prabowo, nama lain bisa dilihat pada pos Komandan Detasemen Kawal Pribadi (Dandenwalpri), jabatan di bawah Paspampres yang secara khusus menjaga langsung presiden secara fisik.

Baru saja ada pergantian pada posisi tersebut, di mana komandan lama maupun yang baru, sama-sama lulusan terbaik di Akmil. Komandan yang lama adalah Letkol Inf Tri Yuniarto (lulusan terbaik Akmil 1989, kini Kepala Staf Brigif 1/Jaya Sakti), sementara Komandan yang baru adalah Letkol Inf Bam-bang Trisnohadi, lulusan terbaik Akmil 1993.

Krisis Figur
Sebagai presiden, SBY memang menjadi Panglima Tertinggi TNI, itu yang bisa dijadikan pembenaran bagi SBY, bila dia ingin merekrut SDM dari institusi TNI. Posisi selaku Pangti sebenarnya lebih sebagai jabatan simbolis, yang semestinya tidak bisa untuk mengakses langsung perwira-perwira yang akan dijadikan stafnya. Bila SBY bisa melakukannya, itu karena masih begitu kuatnya figur SBY selaku mantan petinggi TNI, yang pengaruhnya masih terasa di jajaran TNI. Meski telah pensiun sejak sepuluh tahun yang lalu, SBY tak ubahnya masih seorang jenderal aktif.

Masih demikian kuatnya figur SBY di mata TNI, mungkin merupakan sinyal, bahwa pada saat-saat sekarang, dari TNI belum lahir figur pimpinan yang benar-benar kuat. Tentu kita tidak terlalu berharap akan tampil figur sekuat Jenderal Benny Murdani seperti dulu, bisa mendekati figur Jenderal Benny saja, rasanya sudah cukup.Seperti yang pernah terjadi pada Jenderal Endriartono Sutarto, saat masih menjabat KSAD (2000-2002), bisa mengimbangi figur presiden saat itu (Gus Dur).

Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, itu sebabnya senantiasa dibutuhkan figur yang betulbetul kuat, untuk memandu TNI mengarungi pusaran waktu. Tantangan zaman sekarang, terbilang kompleks, antara lain masalah rendahnya kesejahteraan prajurit yang seolah tidak ada solusinya, kronisnya soal alutsista, provokasi negara tetangga, ancaman terorisme global, melanjutkan reformasi internal dan seterusnya. Tentu akan lebih baik bila masalah-masalah seperti itu bisa diatasi oleh pimpinan TNI sendiri, tidak perlu tergantung pihak eksekutif (baca: presiden).

Figur kuat identik dengan karisma. Tidak setiap jenderal memiliki karisma. Setiap perwira bisa mencapai derajat pati, namun bukan berarti karisma bisa secara otomatis dia peroleh. Mungkin lebih baik bila fenomena ini dijelaskan dengan mengambil contoh. Dalam sejarah mutakhir TNI, setidaknya ada tiga figur TNI yang secara meyakinkan memang karismatik. Selain Jenderal Benny yang sudah disebut di atas, dua lainnya adalah Jenderal M Yusuf dan Letjen Dading Kalbuadi.

Orang awam pun bisa merasakan bahwa ketiga jenderal tersebut memang berbeda dibanding yang lain. Begitulah, pemimpin tanpa karisma adalah kesia-siaan, yang nantinya hanya jadi bahan tertawaan bawahan atau anak buah. Gejala itu acap kali terjadi pada figur pemimpin kalangan sipil, yang hanya berbaik-baik pada rakyat, saat musim kampanye tiba saja.

Fenomena pemimpin atau politisi sipil tersebut, kiranya bisa dijadikan bahan pelajaran bagi perwira TNI generasi baru, khususnya generasi 1980-an karena satu dasawarsa ke depan adalah era kepemimpinan mereka.

Oleh: Aris Santoso
Pengamat TNI

Kerbau yang Menderita

Kamis, 11 Februari 2010 | 05:15 WIB

Sindhunata

Siapa hidup di tanah tumpah darah Saijah, dia pasti mengenal kerbau. Dikisahkan oleh Multatuli, Saijah yang berumur tujuh tahun itu sangat mencintai kerbaunya. Celakanya, kerbau kesayangan itu dirampas oleh penguasa karena Pak Saijah, ayahnya, tak dapat melunasi pajak tanah. Saijah khawatir, pada masa mendatang tak ada lagi teman yang bisa diajak mengerjakan tanahnya. Lalu apa yang bisa mereka makan?

Pak Saijah, yang warga Desa Badur, Distrik Parangkujang Karesidenan Lebak, Banten, itu lalu menjual keris pusaka, warisan ayahnya. Keris itu tidak terlalu bagus, tetapi sarungnya berikat perak yang ada nilainya. Keris itu laku 24 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau lagi.

Saijah segera bersahabat dengan kerbau itu. Kata Multatuli, arti bersahabat itu adalah Saijah amat mencintai kerbau tersebut dan sebaliknya si kerbau amat setia kepada si kecil Saijah. Apa pun yang diperintahkan Saijah, kerbau itu selalu menurutinya. Suara Saijah memberinya tenaga untuk membelah tanah dengan bajaknya. Sayang, kerbau tercinta ini kembali dirampas penguasa.

Alasannya sama. Pak Saijah lalu menjual lagi warisan orang- tuanya berupa sangkutan kelambu dari perak, laku 18 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau baru lagi. Saijah tak segera jatuh cinta pada kerbaunya yang baru. Ia masih teringat kerbaunya yang lama, dan sedih, jangan-jangan kerbau kesayangan itu disembelih orang di kota. Namun, lama-lama Saijah menyayangi juga kerbaunya yang baru, apalagi, kata Pak Penghulu, kerbau baru itu punya user-useran yang akan membawa rezeki.

Suatu hari Saijah dan kawan- kawannya menggembalakan kerbau-kerbau mereka. Tiba-tiba terdengar suara auman macan. Anak-anak itu menyengklak kerbaunya, memacunya untuk segera lari. Saijah juga segera melompat ke punggung kerbaunya. Malang ia terpelanting dan jatuh ke tanah. Si kerbau segera melindunginya. Ketika macan mendekat hendak menerkam Saijah, kerbau itu menanduk perutnya. Macan terkapar dan mati.

Kerbau itu terluka dan ibu Saijah merawat luka-lukanya karena kerbau itu telah menyelamatkan nyawa anaknya. Sayang, lagi-lagi kerbau itu dirampas penguasa karena Pak Saijah tak sanggup melunasi pajak tanah. Waktu kerbau itu dirampas, Saijah berumur 12 tahun dan Adinda, tunangannya, telah pandai menenun sarung dan membatik.

Karena sudah tidak mempunyai uang, Pak Saijah menggarap sawahnya dengan kerbau sewaan. Hati Pak Saijah sedih karena tidak mempunyai kerbau sendiri. Tak lama kemudian, ibu Saijah juga meninggal karena sedihnya, dan hilangnya kerbau itulah awal dari penderitaan yang kemudian dialami oleh Saijah dan Adinda.

Kerbau adalah bagian hidup warga Nusantara. Kehilangan kerbau sama dengan kehilangan nyawa. Kerbau memang tak bisa dipisahkan dari penduduk Nusantara. Itulah yang diuraikan oleh sarjana Belanda, J Kreemer, dalam bukunya, De Karbouw, Zijn Betekenis voor de Volken van De Indonesische Archipel (1955).

Dengan panjang lebar Kreemer menunjukkan bagaimana hubungan kerbau dengan hidup harian penduduk Nusantara. Kerbau mempunyai kisah-kisah yang pre-historis. Paling penting, kerbau adalah binatang pertanian (landbouwdier), yang membantu petani mencari nafkah. Kerbau juga binatang transportasi dan binatang niaga. Di banyak tempat, kerbau digunakan untuk lomba atau karapan.

Kerbau juga dianggap binatang mistis. Di Toraja, orang percaya, bila tiba-tiba ada kerbau masuk kampung dan tak kembali lagi ke tempat penggembalaannya, berarti akan ada orang mati. Kerbau juga dipercaya bisa menitikkan air mata bila majikannya meninggal dunia.

Dirampas haknya

Di Jawa ada kepercayaan, kerbau adalah patron bagi pertanian. Karena itu, petani yakin bahwa kerbau dengan sendirinya dapat diajak membajak dengan tepat dan benar. Maka, sambil membajak, ada doa yang diucapkan demikian, ”O pelindung para tani, bantulah kami. Singkirkanlah segala penyakit dan wabah. Buanglah segala tikus dan hama”.

Di beberapa desa di Jawa, demikian penelitian Van Hien seperti dikutip Kreemer, tiap malam Jumat Paing, orang membuat sesaji untuk kesejahteraan kerbau-kerbau mereka. Mereka percaya, kerbau itu mempunyai roh dan danyang-danyang. Dengan sesaji itu dipanggillah roh dan danyang-danyang agar mau melindungi kerbau-kerbau mereka, membuatnya menjadi sentosa dan sehat agar bisa diajak untuk kuat membajak.

Kerbau tiba-tiba diajak demonstrasi ikut meramaikan politik kita, akhir-akhir ini. Sayang, kerbau hanya dijadikan dan ditangkap sebagai bahan olok-olokan. Kalau dipahami benar makna kerbau bagi masyarakat Nusantara, Presiden mestinya tidak perlu tersinggung. Sama dengan kerbau, berarti menyelami betul nyawa dan hidup penduduk Nusantara, lebih-lebih penderitaannya. Juga, serajin dan sesetia binatang yang sepanjang sejarah menemani petani membajak tanah untuk mencari nafkah.

Dari pihak demonstran, kerbau mestinya tak hanya disajikan sebagai simbol kedunguan dan kemalasan, tetapi juga simbol milik yang dirampas oleh penguasa sehingga membuat rakyat menderita, seperti kisah Saijah. Jika demikian, tepatlah kritik mereka terhadap pemerintah: tidakkah sampai sekarang hak-hak wong cilik masih terus dirampas oleh penguasa seperti di zaman Saijah dan Adinda? Kerbau adalah lambang penderitaan sekaligus keselamatan dan kesejahteraan rakyat Nusantara. Siapa menolak dan menistakan kerbau, dia menjauhi keselamatan dan kualat terhadap rakyat Nusantara.

Sindhunata Budayawan

Pendidikan Karakter Integral

Kamis, 11 Februari 2010 | 05:14 WIB

Doni Koesoema A

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik.

Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.

Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Menjaga keutuhan

Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi sebab anak malah tergoda menjadi pencuri.

Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko. Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan.

Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.

Tiga basis

Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

Doni Koesoema A Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, US

Rabu, 10 Februari 2010

Menggugat Demokrasi Kita

Menggugat Demokrasi Kita

Rabu, 10 Februari 2010 | 03:38 WIB

Oleh Kiki Syahnakri

Pembicaraan tentang demokrasi kembali merebak. Ada yang berpendapat bahwa sistem demokrasi di Indonesia sudah on the track dan tinggal menyempurnakan. Ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa demokrasi di Indonesia telah gagal karena tidak mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan.

Pendapat yang lebih tajam disampaikan oleh Bima Arya Sugiarto bahwa di tengah kemajuan demokrasi Indonesia ada tiga kelompok yang berpotensi membahayakan demokrasi itu sendiri.

Tiga kelompok itu adalah kelompok ”nasionalis romantis” yang menyederhanakan persoalan dengan menyerukan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 45, kelompok ”aktivis romantis” yang tidak bisa mengikuti perkembangan modern dan hanya tahu ”turun ke jalan” sebagai satu-satunya metode pembebasan, serta ”kaum fundamentalis” yang selalu mengaitkan segala hal dengan hukum Islam dan memandangnya sebagai payung tunggal untuk penyelesaian sejumlah masalah bangsa (Rakyat Merdeka, 31/1).

Pernyataan ini mengundang saya untuk turut meramaikan diskusi atau lebih tepatnya mengkritisi pendapat tersebut.

Demokrasi Pancasila

Pada hakikatnya, demokrasi bukanlah gagasan mewah atau ide statis yang ”terjun bebas” dari langit, kemudian diletakkan di ruang hampa, melainkan harus ditempatkan dalam realitas atau dikawinkan dengan realisme kehidupan multiaspek masyarakat atau bangsa-bangsa yang majemuk secara kodrati.

Oleh karena itu, sebagai cara atau konsep demokrasi sangatlah variatif; ada yang disebut demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Pemaksaan suatu sistem demokrasi (demokrasi liberal, misalnya) dalam suatu tatanan masyarakat atau bangsa pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Agar demokrasi itu benar-benar hidup dan terimplementasi secara efektif, tidak boleh diimajinasikan secara idealistis semata. Formula dan elaborasinya harus disesuaikan realitas dan tatanan sosial-budaya lokal/domestik. Tata nilai sosial-kultural domestik itulah yang justru menjadi ”ladang pertumbuhan” bagi benih demokrasi. Para pendiri bangsa (founding fathers/mothers) sebenarnya secara sangat cerdas, arif, dan visioner telah memformulasikan demokrasi Pancasila sebagai sistem demokrasi terbaik dan paling tepat untuk Indonesia, dengan merujuk pada nilai-nilai universal kemudian mengawinkannya dengan karakteristik bangsa dan sejumlah ciri keindonesiaan.

Muatan nilai-nilai kearifan lokal, seperti musyawarah mufakat, gotong royong, semangat kekeluargaan, semangat Bhinneka Tunggal Ika, harmoni dalam persatuan, pola perwakilan/keterwakilan, membuat demokrasi Pancasila benar-benar berakar dan bersumber pada ranah keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis. Nilai dan semangat itu telah termuat padat dalam Pembukaan UUD 1945.

Perkembangan demokrasi

Realitas perkembangan demokrasi di Indonesia kini telah didominasi oleh sistem demokrasi liberal yang amat mengedepankan kebebasan individu, sistem jajak pendapat, dan keterpilihan.

Dihadapkan pada fenomena feodalisme yang makin mewabah dan supremasi hukum yang masih kedodoran, kebebasan tadi malah menyuburkan Machiavellianisme, bahkan telah bermetamorfosis dalam wajah yang lebih canggih karena dibungkus kesantunan (good looking machiavellian) serta meningkatkan perilaku perburuan kekuasaan dan koruptif yang meluas ke segala institusi dan level pemerintahan.

Adapun sistem jajak pendapat, pemilihan langsung (one man one vote), pada kenyataannya tidak melahirkan kepemimpinan yang lebih berkualitas. Sebaliknya, yang dihasilkan adalah kepemimpinan dengan kompetensi, pengalaman, dan karakter yang memprihatinkan. Patut disadari bahwa mayoritas pemilih di Indonesia masih berada pada tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang rendah. Mereka belum menjadi voters yang sesungguhnya, melainkan sebagai supporters yang tidak digerakkan oleh nalar dan nurani, tetapi kerap kali uang berperan besar karena dorongan kebutuhan hidup.

Patut dipahami penegasan Bung Hatta bahwa prinsip demokrasi bukanlah ”keterpilihan”, melainkan ”keterwakilan” dengan mengedepankan prinsip egalitarianisme. Sementara itu, praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal justru ”membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Seharusnya suku Dani, Anak Dalam, dan sejumlah kelompok minoritas diwakili dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight). Keterwakilan merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.

Adalah salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan jajak pendapat karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks keindonesiaan.

Kembali ke ”roh”

Yang harus dilakukan bangsa Indonesia saat ini adalah menghidupkan kembali spirit Pembukaan UUD 1945 yang merupakan ”roh” dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Benar bahwa batang tubuh UUD 1945 bukanlah barang keramat atau sesuatu yang transendental sehingga tidak bisa diubah, Pasal 37 UUD 1945 memberi peluang untuk itu.

Namun, sekali lagi bila yang terjadi adalah pengingkaran terhadap spirit mukadimahnya dan promosi besar-besaran terhadap sistem demokrasi liberal yang tidak berakar pada basis kultural bangsa Indonesia, sungguh membahayakan demokrasi itu sendiri, bahkan potensial menimbulkan keretakan bangsa.

Dalam beberapa hal saya setuju dengan Bima Arya, tetapi uraian di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ancaman nyata justru datang dari kelompok ”romantis liberalis”, bukan dari kaum nasionalis romantis. Karena itu, urgen bagi bangsa Indonesia untuk segera kembali pada spirit mukadimah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa bernegaranya.

Kiki Syahnakri

Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD)

Senin, 01 Februari 2010

Awal 2010 di Denpasar

Mengawali kehidupan ditempat yang baru memang membawa berbagai macan konsekuensi, baik itu yang bernuansa positif maupun negatif. Seperti juga yang aku alami saat ini, harus pindah tugas dari Makassar menuju Pulau Dewata. Memang kedengeran enak mendengar nama Pulau Dewata karena identik dengan tempat yang indah, turis, dan tempat2 hiburan.

Beberapa hari menginjakkan kaki di sini ternyata memeng betul Bali itu tempat yang indah, sangat indah malah....namun disisi lain di sini saya harus malaksanakan dinas sebagai anggota TNI dengan bersusah payah mencari tempat tinggal, karena tidak ada rumah dinas lagi, jangankan untuk saya yang baru berpangkat Kapten , level Pabandya yang Letkol pangkatnya katanya harus ngontrak rumah juga.

Satu lagi yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya ternyata di Bali khususnya Denpasar tidak ada angkot sehingga satu lagi permasalahan yang harus dihadapi, mencari kendaraan....
Untungnya masih ada teman yang berbaik hati meminjamkan motor sementara waktu, sehingga tidak perlu lagi aku mengeluarkan ongkos tambahan sewa motor.

Yaaaa....inilah awal yang penuh tantangan mengawali tugas di Denpasar di awal Tahun 2010, Semoga dengan semua ini menjadikan diriku akan bisa lebih mensyukuri apapun yang diberikan olehNya......................................................................................................................................