SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Foto saya
Kupang, NTT, Indonesia

Rabu, 08 September 2010

Jarkoni

JARKONI

By Slamet Sp

Bulan Puasa tidak lama lagi akan meninggalkan kita, seperti dulu-dulu….tahun-tahun sebelumnya ada fenomena yang terjadi yang hampir tidak berubah. Awal Ramadhan, di hari pertama dan kedua bulan puasa, kita akan melihat betapa masjid-masjid, mushola-mushola ramai dipenuhi jamaah….Tidak hanya orang dewasa tapi sampai anak-anakpun ikut meramaikan suasana awal Ramadhan dengan hiruk pikuk…benar-benar ramai…..Namun pemandangan tersebut tidak akan bertahan lama….tak genap seminggu kemudian kita akan mendapati masjid dan mushola yang mulai sepi ditinggalkan jamaahnya….Shaf jamaah sholat taraweh semakin hari semakin maju….karena berkurang jamaahnya. Apalagi diakhir Ramadhan ….tinggal menyisakan orang-orang yang lanjut usia dan beberapa anak muda yang benar-benar mempunyai keimanan yang kuat…yang masih mampu berdiri berjamaah sholat taraweh dan mampu memakmurkan masjid dan mushola. Itu baru Taraweh….apabila kalau kita sempat menghadiri sholat subuh….lebih ironis lagi….mungkin tinggal imam dan satu orang makmum dibelakangnya.

Itulah fenomena di negeri yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia….Di negeri ini yang tiap saat kita bisa saksikan secara langsung maupun kita tonton melalui media televisi ….Banyak kegiatan agama baik yang bersifat ritual maupaun ibadah sosial digelar….banyak orang menangis ketika mengikuti tabligh akbar, pengajian maupun ceramah agama…..Begitu banyak nasehat yang keluar dari para mubalig….para ustaz…para kiai…para pemimpin negeri….Namun tidak mampu merubah akhlak sebagian besar rakyat di negeri ini….negeri ini juara korupsi, negeri terkenal dengan KKN….Sungguh bertolak belakang….yang seharusnya di negeri yang berpenduduk Muslim terbesar ini tidak akan terjadi Korupsi….tidak terjadi suap menyuap…tidak terjadi anak kurang gizi….tidak terjadi pornografi….tidak terjadi pornoaksi….tapi kenyataannya itu semua ada di negeri ini…..Bahkan banyak pejabatnya masuk bui…..padahal mereka puasa….mereka sholat….terus kenapa mereka masih berbuat maksiat ? Lantas…..dimana letak kesalahannya…..

Saya jadi ingat….waktu masih di padepokan ketika senior selalu mengatakan….kamu kalau sudah jadi senior jangan Jarkoni…..Kamu hanya bisa ngomong tok tapi pelaksanaan nol besar. Kamu harus bisa membuktikan apa yang kamu ucapkan kepada juniormu benar – benar kamu lakukan…tidak Jarkoni ….Iso ngujar ra iso nglakoni…( Hanya bisa mengucapkan tapi tidak bisa melaksanakan) “Yang penting implementasinya …!!! Junior bahkan anak buahmu pasti akan respek…akan loyal….akan mengikuti yang kamu ucapkan ” , begitu senior saya menasehati. Saya jadi mikir barangkali banyak orang di negeri ini yang Jarkoni sehingga terjadi kondisi seperti sekarang ini. Barangkali pak kiai, pak ustaz, para pejabat, para pemimpin negeri ini hanya pandai menasehati…pandai berceramah….pandai beretorika…tapi miskin implementasi…miskin amal…miskin tauladan….miskin contoh….Pemimpin menyuruh anak buah berbuat baik, jangan melanggar tapi dia masih mencuri…masih korupsi sehingga isi nasehat jadi hambar oleh tuah kecurangan yang dilakukan…..walaupun memang tidak nampak…. tidak kasat mata….tapi walaupun demikian Gusti Allah Ora Sare….Aura pemimpin yang curang, yang koruptor pasti nasehatnya tidak akan sampai….hambar dan percuma…..

Barangkali Pak kiai menyuruh sedekah…tapi tidak memimpin dan memberi contoh bersedekah…..menyuruh menyantuni fakir miskin tapi tidak pernah mau mengeluarkan uang dari kantong pribadinya….sehingga ustaz, kiai hanya menjadi selebritis dalam kegiatan agama….Setelah itu lupa akan nasehatnya….miskin amal di dunia nyata…..

Yaaaa…..hanya Tuhan yang Maha Tau….yang mengerti apa yang menyebabkan fenomena aneh di negeri ini……Atau barangkali …….karena semua orang telah terkena penyakit Jarkoni ….seperti kata senior ku dulu….Sehingga semua ini terjadi…..??? Hanya Tuhan yang tahu…….Ucapku lirih dalam hati……...Wallahualam bi sawab.

Kupang, awal September 2010

Kamis, 17 Juni 2010

UPAYA MENGURANGI TINGKAT PELANGGARAN ANGGOTA DI SATUAN
MELALUI REWARD DAN PUNISHMENT
By : Slamet Sp

Pendahuluan

Prajurit TNI adalah warga negara yang tunduk pada hukum dan memegang teguh disiplin, taat kepada atasan, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Prajurit TNI tunduk kepada hukum baik secara umum maupun khusus, baik nasional maupun internasional bahkan tunduk kepada hukum secara khusus dan hanya diberlakukan untuk TNI saja. Hal ini diatur dalam undang-undang nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI sekarang TNI, dan keputusan Panglima TNI Nomor Kep/22/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005. Keduanya mengatur hukum dan peraturan disiplin prajurit, seorang prajurit melanggar aturan itu akan mendapatkan sanksi.

Kehidupan prajurit TNI mengenal adanya pelanggaran disiplin murni dan pelanggaran disiplin tidak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah setiap perbuatan yang bukan tindak pidana tetapi bertentangan dengan kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit, maka akibat pelanggaran tersebut akan dijatuhi hukuman disiplin prajurit. Pelanggaran disiplin tidak murni adalah setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana, yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin prajurit. Jenis hukuman disiplin yang berlaku bagi prajurit TNI adalah: teguran, penahanan ringan dan penahanan berat.

TNI yang ada di negara ini bukan TNI yang kebal terhadap hukum, dengan jumlah pasukan yang cukup banyak, sudah tentu ada satu dua orang atau oknum yang bertindak keluar dari jalur serta tidak disiplin, sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran. Angka pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI, yang paling menonjol saat ini kasus desersi, perkelahian (antar prajurit TNI, dengan Polri dan Masyarakat), narkoba dan asusila. Sejak periode 2003 - 2008 (dalam kurun 5 tahun) telah terjadi peningkatan kasus pelanggaran yang sangat signifikan dan banyak yang berakhir dengan berhenti tidak dengan hormat .

Dari data yang ada diketahui beberapa oknum anggota TNI yang kedapatan bermain judi dengan cara menjual Togel, seperti yang terjadi di Nabire Papua September 2007 yang lalu (http://www.tniad.mil.id/ news.php?id=1440). Selain itu di Pontianak, pada bulan Oktober 2000, sedikitnya 20 prajurit TNI-AD di lingkungan Korem 121/Alam Bana Wanawwai (ABW) telah dipecat, mereka kebanyakan dianggap telah melakukan tindakan desersi atau lari meninggalkan dinas kemiliteran atau tanpa sepengetahuan komandan kesatuannya (http://www.pontianakpost.com/berita/ index.asp)

Pelanggaran juga terjadi di Kalimantan (http://www.tniad.mil.id/ news. php?id=584) Pangdam VI/Tanjungpura Mayjen TNI GR. Situmeang pada tanggal 20 Maret 2007, memecat 19 orang prajurit dari berbagai Kesatuan jajaran Kodam VI/Tanjungpura yang terdiri dari satu orang Pama (Perwira Pertama) berpangkat Kapten, lima orang Bintara dan 13 orang dari golongan Tamtama. Ke 19 orang prajurit tersebut diakhiri masa dinasnya terkait dengan pelanggaran tindak pidana yang dilakukan dan telah mendapat keputusan pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap.

Data diatas menunjukkan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh prajurit TNI, padahal pada masing-masing Kesatuan selalu ditekankan penegakan disiplin. Penegakan disiplin di satuan dilakukan dengan memberikan pengertian dan penegasan kepada prajurit tentang peraturan militer maupun peraturan lain yang berlaku di masyarakat, pada saat apel, jam komandan maupun melalui penyuluhan. Memberikan sanksi pada prajurit yang melanggar berupa tindakan disiplin maupun hukuman disiplin sebagaimana yang diatur dalam peraturan disiplin prajurit TNI. Tindakan disiplin dilakukan oleh atasan yang melihat langsung prajurit yang melanggar atau berdasarkan laporan, sedangkan hukuman disiplin dilaksanakan oleh Dansat melalui Sidang Parade Hukuman Disipin atau dilimpahkan ke Mahkamah Militer. Sanksi yang diberikan mulai dari tindakan fisik berupa lari, korve, masuk sel batalyon, sel Polisi Militer dan Rumah Tahanan Militer sampai tindakan administrasi seperti penundaan kenaikan pangkat, dibebaskan dari jabatan, ditunda sekolah, skorsing dan pemberhentian dengan tidak hormat .

Guna menegakkan disiplin dan mencegah terjadinya pelanggaran telah dibuat aturan dan pemberian sanksi yang ketat. Yang menjadi masalah, walaupun sudah diberlakukan aturan dan penegakan disiplin yang ketat serta pemberian sanksi pada setiap pelanggaran, kenyataan di lapangan masih saja terjadi pelanggaran oleh prajurit.
Untuk menjawab permasalahan diatas dalam tulisan ini akan dibahas upaya mengurangi tingkat pelanggaran anggota disatuan ditinjau dari peran kepemimpinan, penerapan Reward dan Punisment, didahului pembahasan faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran oleh prajurit.


Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran

Kecenderungan perilaku pelanggaran disiplin prajurit dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor dari dalam individu prajurit meliputi kondisi fisik dan psikologis, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor lingkungan diluar individu prajurit .

Faktor Internal.

Tipe Kepribadian. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan perilaku pelanggaran disiplin prajurit adalah kepribadian individu. Dari hasil penelitian yang dilakukan Shinta Wijaya pada tahun 2008 tentang perbedaan kecenderungan perilaku pelanggaran disiplin prajurit ditinjau dari tipe kepribadian pada prajurit TNI AD, tipe kepribadian menyumbang sebesar 14,5% sebagai faktor penyebab terjadinya kecenderungan pelanggaran disiplin oleh prajurit. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ada perbedaan yang sangat signifikan kecenderungan perilaku pelanggaran disiplin prajurit ditinjau dari tipe kepribadian pada prajurit TNI AD .

Keimanan dan Ketaqwaan. Faktor internal lain yang mempengaruhi kecenderungan perilaku pelanggaran disiplin prajurit selain tipe kepribadian adalah keimanan dan ketaqwaan prajurit kepada Tuhan YME. Masalah keimanan dan ketaqwaan merupakan aspek esensial yang berpengaruh terhadap sikap, perilaku dan tindakan prajurit dalam kehidupannya sehari-hari. Prajurit yang mempunyai dasar keimanan dan ketaqwaan yang kuat yang ditandai dengan ketaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya mempunyai kecenderungan lebih taat terhadap aturan yang berlaku.

Pemahaman terhadap hukum. Dalam beberapa kasus pelanggaran disiplin, insubordinasi, dan tindak kejahatan yang dilakukan prajurit ditemukan bahwa pemahaman terhadap hukum masih kurang. Mereka masih beranggapan sebagai warga negara kelas satu yang mempunyai keistimewaan hukum sehingga menganggap remeh supremasi hukum yang diwakili lembaga-lembaga, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ada kecenderungan seorang prajurit hanya takut/taat terhadap komandannya sehingga polisi dan aparat penegak hukum lainnya dapat diancam untuk tidak mengungkap kasus pelanggaran yang dilakukannya.

Moril. Kondisi moril prajurit sangat berpengaruh terhadap tingkat pelanggaran yang dilakukan prajurit di satuan. Menurut Copeland (1980), kualitas moril mencakup disiplin, pengendalian diri, kehormatan diri, loyalitas, kepercayaan terhadap diri sendiri dan pengertian yang mendalam akan kebanggaan diri dan corps. Berbagai penelitian telah dilakukan dan menunjukkan adanya korelasi

tinggi rendahnya moril prajurit dengan tinggi rendahnya pelanggaran disiplin. Moril prajurit yang rendah dapat dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, terjadinya banyak kasus atau masalah hambatan dan gangguan kejiwaan yang secara ilmiah disebut neuro-psychiatris. Kedua, terjadinya banyak pelanggaran disiplin, insubordinasi, tindak pidana, disersi, asusila, ditemukannya anggota yang menderita penyakit kelamin dan adanya keinginan anggota untuk pindah satuan .

Faktor Eksternal.

Peran kepemimpinan. Peran pemimpin dalam organisasi/satuan sangat penting karena kulitas kepemimpinan menentukan kualitas kehidupan sebuah komunitas termasuk sebuah Kesatuan. Satuan yang dipimpin seorang Leader yang berbobot akan menjadi satuan yang berbobot pula. Kepemimpinan seorang komandan satuan memberikan andil yang besar bagi penegakkan disiplin di satuan sehingga mampu meminimalisir terjadinya pelanggaran anggota. Pemimpin yang baik merupakan segala-galanya bagi prajurit yang baik. Seorang komandan atau pemimpin yang tidak konsekuen atas apa yang diucapkannya dan tidak bertanggungjawab akan membuat anak buah kehilangan tempat berpegang dan mengalami konflik, sehingga akan berpengaruh terhadap terjadinya penyimpangan dan pelanggaran oleh prajurit.

Situasi lingkungan kerja dan pangkalan. Lingkungan kerja yang dinamis dan pangkalan yang teratur dan bersih berpengaruh terhadap sikap seseorang. Situasi kerja yang monoton dan pangkalan yang sepi dan tidak teratur akan sangat menjemukan sehingga mendorong prajurit memasuki situasi yang menekan (stress) dan berpengaruh terhadap moril prajurit.


Beban Tugas. Setiap individu mempunyai kemampuan dan batas kemampuan baik secara fisik maupun mental psikologis. Beban tugas yang melebihi kemampuan fisik dan mental seseorang dapat memicu timbulnya tingkat stress yang apabila tidak mendapat perhatian dan penanganan akan menimbulkan terjadinya pelanggaran. Kasus disersi prajurit disatuan salah satunya disebabkan oleh adanya beban tugas yang diluar kemampuan fisik dan mental psykologis prajurit yang bersangkutan.

Persoalan rumah tangga dan beban ekonomi. Terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga, terindikasinya prajurit yang “ngobyek” , menjadi backing perjudian, menjadi bodyguard, terlibat dalam pencurian, perampokan dan tindakan kriminal lainnya selain pengaruh dari sikap mental individu prajurit faktor lainnya adalah persoalan rumah tangga dan beban tuntutan ekonomi/biaya hidup.

Kepemimpinan yang Efektif Mendorong Penurunan Tingkat Pelanggaran di Satuan

Kepemimpinan : Teori dasar


Dari perumusan-perumusan tentang kepemimpinan yang ada dapat disimpulkan dalam kepemimpinan terdapat empat unsur yaitu unsur manusia yang memimpin, unsur manusia yang dipimpin, unsur sarana untuk memimpin dan unsur tujuan kepemimpinan .

Menurut perumusan Angkatan Darat kepemimpinan adalah seni serta kecakapan untuk mempengaruhi, memimpin, menuntun bawahannya kearah tujuan tertentu sedemikian rupa sehingga mereka itu mau bekerja sama denagan penuh keikhlasan kepercayaan dan ketaatan dan penghargaan .

Dalam Diktat Kepemimpinan ABRI (Susgati Bintal ABRI ) kepemimpinan mengandung pengertian seni pelaksanaan menggunakan pengaruh dan memberikan bimbingan kepada orang-orang yang dipimpin, sehingga dari pihak yang dipimpin itu timbul kemauan kepercayaan, respek, ketaatan dan kerjasama yang ikhlas yang diperlukan dalam penunaian tugas-tugas yang dipikulnya, tanpa banyak menggunakan alat dan waktu, tetapi dengan banyak keserasian antara apa yang menjadi obyek kelompok atau kesatuan dengan apa yang menjadi kebutuhan atau tujuan perorangan .

Dalam Field Manual 22-100, kepemimpinan adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang-orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek dan kerjasama secara loyal untuk menyelesaikan tugas. (The art of influencing and direction men in such a way as to obtain their willing obedience, confidence, respect and loyal cooperation in order to accomplish the mission )

Kepemimpinan : Arti penting

Mengenai pentingnya seorang pemimpin dan kepemimpinan dapat ditemui dan telah dijelaskan dalam berbagai ajaran agama. Sebagai contoh dalam ajaran Islam, ditandaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW : “ Apabila berangkat tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantaranya menjadi pemimpin” (Hadist Riwayat Abu Dawud). Dalam beberapa ayat Al Qur’an juga banyak yang berkaitan dengan eksistensi pemimpin diantaranya adalah QS Al Baqarah : 124, Al Anbiya: 72, 73, Shad : 26, dan Al An’am : 165. Konsepsi kepemimpinan menurut Al Kitab telah dirumuskan dalam seminar Agama-agama X/1990 serta dalam buku Leory Eims dengan judul 12 Ciri Kepemimpinan Yang Efektif. Pada ajaran Budha masalah kepemimpinan ditampilkan dalam falsafah Dhamma pada uraian Thakada. Pada

ajaran Hindu, falsafah kepemimpinan dijelaskan dengan istilah yang menarik dan memiliki makna yang mendalam, seperti : Panca Stiti Dharma (lima ajaran seorang pemimpin), Catur Kotamaning Nrepati ( empat sifat utama seorang pemimpin), Asta Brata (Delapan sifat mulia dewa), Catur Naya Sandhi ( empat tindakan seorang pemimpin).

Dalam suatu komunitas, organisasi ataupun satuan seorang pemimpin dan tujuan kepemimpinan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Peran seorang pemimpin dan kepemimpinan yaitu antara lain : seorang pemimpin mempunyai tugas/peran mempengaruhi, mengajak, menggerakkan, mengambil keputusan guna pencapaian suatu goal atau tujuan yang ditetapkan dan harus siap menjadi figur, tauladan, contoh, panutan dari seluruh orang yang dipimpinnya .

Dalam prespektif militer, tujuan kepemimpinan adalah dalam rangka dalam mewujudkan satuan yang memiliki daya tempur yang efektif, yaitu satuan yang diorganisasi, diperlengkapi dan dilatih agar mampu melaksanakan tugas dengan waktu yang relatif singkat dan dengan sarana, tenaga, biaya dan alat perlengkapan serta pengorbanan yang sedikit-dikitnya .

Seorang pemimpin juga sebagai penegak kedisiplinan dan norma dasar keprajuritan. Tantangan tugas dan tanggung jawab yang diemban dalam upaya penegakkan disiplin dan penegakkan norma dasar keprajuritan tidaklah ringan. Kompleksitas permasalahan dalam upaya penegakkan kedisiplinan dan norma dasar keprajuritan dihadapkan pengaruh lingkungan memerlukan perhatian, tekad dan semangat yang tinggi dari seorang pemimpin.


Kepemimpinan : Kriteria efektif

Atas dasar tujuan dan peran penting dari pemimpin itu Plato (pemikir Yunani) mengidentifikasikan bahwa menjadi seorang pemimpin haruslah memiliki kriteria etis. Pertama, seorang pemimpin harus mengandalkan daya nalar dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Kedua, seorang pemimpin harus berpijak pada norma-norma moral khususnya keadilan dan kebenaran serta kepedulian yang tinggi terhadap anggota yang dipimpinya. Bahasa psikologisnya adalah pemimpin yang punya empati besar terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Dasar filosofis penentuan kriteria diatas adalah bahwa yang diurus oleh seorang pemimpin bukanlah benda-benda melainkan manusia, olehnya pemimpin harus mempunyai kepekaan terhadap kehidupan orang-orang yang dipimpinnya. Keberhasilan kepemimpinan terletak pada seberapa besar kepedulian terhadap anggota yang dipimpinnya.

Seperti diketahui salah satu kebutuhan manusia adalah perhatian, pengakuan atau penghargaan. Timbulnya motivasi pada seseorang untuk berbuat , erat hubungannya dengan kebutuhan psikis orang tersebut. Oleh karenanya agar berhasil menjalankan kepemimpinannya secara efektif seorang pemimpin di satuan harus mengerti betul dinamika kondisi psikologis, tipe kepribadian, motif dan norma- norma yang ada pada anak buah. Untuk mengetahui tipe kepribadian dan kondisi psikologis anggota bisa dilakukan dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan psikologi oleh tim Psikologi AD maupun dengan menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang ada di wilayah dimana satuan berada dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa mengadakan penelitian tentang kondisi prajurit untuk kepentingan menyusun skripsi/thesis yang hasilnya juga dapat dimanfaatkan satuan.

Pemimpin harus dapat berperan sebagai hakim yang adil, peran ini sangat sulit dilakukan karena ada kecenderungan dalam diri siapapun untuk berpihak pada kelompok tertentu yang cocok. Dalam rangka mewujudkan tindakan yang obyektif dan adil, pemimpin harus bertindak berdasarkan fakta yang ada dan tidak pilih kasih yang pada akhirnya akan membawa dampak negatif dalam perkembangan satuan. Agar putusannya dapat obyektif ada empat pedoman yang dapat digunakan dalam menilai kegiatan yang dilakukan anak buah. Pertama, benar menurut agama, bahwa perbuatan yang dilakukan dihadapkan pada aturan yang berlaku dalam agama yang dianut oleh anggota yang bersangkutan. Kedua, benar menurut negara, aturan perundang-undangan yang berlaku secara umum bagi setiap warga negara, KUHP, Undang Undang, dan lain-lain. Ketiga, benar menurut umum, adalah aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat umum. Keempat, benar menurut nilai-nilai, norma-norma kaidah dan aturan yang berlaku dalam organisasi TNI (KUHPM, KUHDM, Protap-protap dan lain-lain).

Seorang pemimpin harus konsekuen dan berani bertanggung jawab sehingga akan mendapat respek dan ditaati. Semua tindakannya akan dinilai positif oleh anak buah dan selanjutnya prajurit akan rela melaksanakan perintahnya dan bertanggung jawab pula atas apa yang dikerjakannya. Dalam falsafah Jawa dinyatakan “ Sabda Pandita Ratu sepisan dadi tan kena wola-wali”. Yang artinya bahwa perkataan, janji atau perintah seorang pemimpin harus jelas dan ditepati sekali terucap atau dikeluarkan tidak boleh berubah-ubah sehingga tidak menimbulkan kebingungan di tengah anak buah.

Suatu hal yang mutlak harus dapat ditampilkan oleh seorang pemimpin adalah kejujuran dan kemampuan diri menjadi figur teladan bagi anggota di satuannya, baik dalam pola pikir, pola ucap dan pola tindak dan dapat menjadi pelopor dalam penegakan disiplin dan aturan. Sri Sultan HB X mengatakan : “Kekuatan terdasyat seorang pemimpin adalah keteladanan dan kejujurannya”. Dengan kualitas diri seperti ini seorang pemimpin akan lebih efektif meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh anggota sehingga meminimalisir terjadinya berbagai bentuk pelanggaran.

Penerapan Reward and Punishment

Reward
Reward atau penghargaan mempunyai peran penting dalam menumbuhkan motivasi anggota untuk bekerja dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Salah satu kebutuhan manusia menurut teori psikologi adalah kebutuhan akan penghargaan. Dengan memahami dan memenuhi kebutuhan tersebut maka prestasi kerja akan meningkat.

Menurut teori Maslow, manusia mempunyai tingkat kebutuhan yang tersusun secara hierarkhi, motivasi dalam pemenuhan kebutuhan tersebut merupakan faktor pendorong yang menyebabkan seseorang mau bekerja ekstra keras. Bila suatu kebutuhan telah dicapai individu, maka kebutuhan yang lebih tinggi menjadi kebutuhan baru yang harus dicapai. Menurut Maslow, kebutuhan kita dapat digambarkan menjadi 5 katagori yang potensial sebagai pendorong motivasi kerja. Pertama, kebutuhan dasar atau fisiologis seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan seks merupakan kebutuhan dasar untuk dapat bertahan hidup. Kedua, berupa kebutuhan rasa aman secara mental dan fisik dari lingkungan kerja. Ketiga, adalah kebutuhan rasa memiliki seperti cinta, kasih, penerimaan, persahabatan dan kebutuhan sosial lainnya yang berhubungan dengan proses sosial, kebutuhan rasa memiliki ini dipenuhi dengan menyediakan lingkungan dan iklim kerja yang menyenangkan bagi anggota, yang mendorong setiap individu untuk merasa sebagai bagian penting dari tim kerja. Keempat adalah kebutuhan penghargaan diri yaitu respek dan pujian atas keberhasilan dan merasa diri berharga, bagi anggota kebutuhan ini dipenuhi dengan mendapatkan penghargaan dan pengakuan atas pengetahuan, ketrampilan dan usaha kerasnya. Kebutuhan ini membuat individu menjadi puas bekerja sama dengan tim kerja. Bentuk kebutuhan ini berupa penghargaan finansial, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, kesempatan sekolah dan lain-lain. Kelima adalah kebutuhan aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk terus berkembang dan mencapai potensi penuh individu. Kebutuhan ini berfokus kepada pengembangan individu seperti otonomi, kreatifitas, mengambil resiko dan memenuhi kebutuhan sendiri, ini merupakan jenis kebutuhan tertinggi menurut teori Maslow. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan mengembangan karier, kesempatan untuk menampilkan produktifitas dan kualitas kerja yang tinggi, serta kesempatan untuk mengembangkan dan mewujudkan kreatifitas.

Beberapa pakar tentang motivasi menyatakan bahwa penghargaan merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan kinerja seseorang disamping faktor yang lain. Penghargaan yang diperoleh seseorang anggota atas prestasi kerjanya bukan saja berpengaruh pada individu prajurit yang menerimanya tetapi juga berpengaruh pada kelompok, keluarga dan lingkungan sehingga rasa kebanggaan akan timbul, percaya diri semakin kuat dan anggota merasa puas karena prestasinya diakui sehingga pada gilirannya akan meningkatkan disiplin, dan etos kerja serta berkurangnya pelanggaran anggota.

Punishment.

Peraturan merupakan pedoman bagi perilaku anggota untuk menciptakan dan mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif. Segala pelanggaran yang dilakukan prajurit baik sengaja maupun tidak disengaja terhadap hukum dan atau peraturan disiplin prajurit dan atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan prajurit yang berdasarkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit atau melanggar aturan kedinasan, merugikan organisasi dan kehormatan prajurit, ketidak disiplinan prajurit akan berpengaruh terhadap etos kerja / kinerja satuan.

Untuk itu perlu diterapkan sanksi atau hukuman yang jelas, tegas dan adil terhadap setiap pelanggaran prajurit. Penerapan hukuman bagi prajurit yang melanggar tidak saja untuk membuat jera tetapi lebih dari pada itu harus dapat memotivasi pelanggar agar dapat merubah perilaku buruk menjadi baik. Hukuman harus memenuhi tiga aspek yaitu adil, memberikan efek jera dan mencegah orang lain berbuat pelanggaran yang sama.

Banyak prajurit yang mau menjalankan aturan bila diawasi dan dikontrol dengan ketat hal tersebut terjadi karena adanya sikap manusia yang ingin bebas dan tidak mau diatur. Menurut teori X dari Mc Gregor bahwa manusia rata-rata mempunyai sikap sebagai berikut:
a. Malas, tidak menyukai dan menghindari kerja.
b. Tidak jujur.
c. Tidak tertarik mencapai tujuan kerja.
d. Harus dipaksa atau diancam dengan hukum agar berkerja mencapai tujuan organisasi.
e. Pasif dan maunya diperintah dan bukannya menerima tanggung jawab.
f. Tidak suka mengambil tanggung jawab.
g. Hanya dapat dimotivasi dengan insentif yang berkaitan dengan kebutuhan fisiologi atau rasa aman.
h. Mempunyai kapasitas terbatas untuk pemecahan masalah secara kreatif.
i. Harus diamati dan dikontrol dengan baik untuk menjamin penampilan kerja.

Dari beberapa sikap manusia dalam teori X Mc Gregor menunjukan adanya kecenderungan manusia untuk tidak disiplin. Dengan adanya kondisi seperti ini maka pemimpin harus dapat memotivasi antara lain dengan basis kontrol dan pemberian hukuman. Disamping membuat jera dan dapat memotivasi pelanggar untuk merubah perilaku maka hukuman harus dapat memberikan sanksi moral terhadap pelaku, sehingga dapat :
a. Membimbing hati nurani agar berkembang lebih positif secara bertahap dan berkesinambungan.
b. Memupuk, mengembangkan, menerapkan nilai-nilai dan sifat positif kedalam pribadi pelanggar.
c. Mengikis dan menjauhkan dari sifat-sifat dan nilai-nilai buruk.

Setiap pelanggaran sekecil apapun harus segera diambil tindakan dan tidak boleh ditunda-tunda. Penundaan berarti akan memberikan peluang terjadinya pelanggaran. Sebuah peristiwa kecil (pelanggaran) bila didiamkan akan memicu pelanggaran yang lebih besar. Banyak orang yang tidak menyadari setiap kerusakan nilai-nilai dimulai dari hal-hal kecil . Dalam ilmu psikologi dikenal teori Tear Window atau Broken Window, teori ini dipopulerkan oleh dua orang ahli krimialitas (kriminolog) George L Kelling dan Catherine M Coles (1996). Melalui studinya mereka berdua menyimpulkan “pelanggaran/kriminalitas terjadi sebagai akibat (yang tak terelakan) dari adanya ketidakteraturan. Semua itu bermula dari, sebut saja, adanya jendela pecah (broken window) yang didiamkan oleh pemiliknya akan mendorong para pelaku kriminal lain untuk memecahkan kaca jendela lainnya.” Dalam bukunya yang berjudul Tipping Point, Gladwell menjelaskan “ jendela yang pecah yang tidak diperbaiki telah menimbulkan kesan ketidakpedulian, sehingga dalam waktu dekat akan ada lagi jendela yang kacanya pecah, yang disusul dengan vandalisme dan keonaran-keonaran”.

Hukuman yang diberikan oleh pimpinan terhadap anggota yang melanggar tujuan akhirnya adalah menciptakan kondisi disiplin baik secara pribadi, kelompok maupun satuan yaitu terwujudnya sikap prajurit yang berpikir tertib, bersikap tertib, bertingkah laku tertib sesuai aturan yang benar. Kondisi disiplin tidak tumbuh dengan sendirinya tetapi lahir dan dimulai dari disiplin pribadi, mengarah pada disiplin keluarga, disiplin kelompok, disiplin golongan yang akhirnya menjadi disiplin satuan. Ketidaktertiban berawal dari ketidakdisiplinan pribadi, ketidaktertiban menggunakan waktu kerja yang kemudian melahirkan penyimpangan administrasi, kehidupan dinas, dengan tidak terasa menjurus pada ketidaktertiban dalam melaksanakan tugas kedinasan. Aturan kedinasan sudah jelas, perangkat hukum telah memadai, maka sekecil apapun pelanggaran harus diberikan sanksi, apabila sanksi dilaksanakan dengan konsekuen dan konsisten, tentu mempunyai arti besar yang berdampak positif bagi satuan.

Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan, reward dan punishment mempunyai peran penting dalam mengurangi tingkat pelanggaran prajurit disatuan, melalui penerapan kepemimpinan yang efektif dan pemberian reward dan punishment yang tepat dan proporsional tingkat pelanggaran prajurit disatuan dapat diminimalisir.



Kupang, Juni 2010

Selasa, 23 Februari 2010

ACFTA: Berkah atau Bencana bagi Indonesia?

ACFTA: Berkah atau Bencana bagi Indonesia?
Tuesday, 23 February 2010
Sejak 1 Januari 2010, perjanjian perdagangan bebas antara China dan enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam) yang lebih dikenal dengan ASEANChina Free Trade Agreement (ACFTA) telah dimulai.


Perjanjian yang menyepakati adanya ASEANChina Free Trade Area (ACFTA) sebenarnya sudah direncanakan sejak 2002 dan ditandatangani pada 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja.Konsekuensi dari adanya perjanjian tersebut adalah pembukaan pasar dalam negeri secara luas untuk dapat dimasuki barang-barang industri dari negara yang ikut dalam perjanjian tersebut. Tidak dapat dimungkiri posisi China yang sangat berpengaruh pada tataran perekonomian internasional membuat setiap negara ingin melaksanakan kerja sama dan berguru kepada mereka seperti ungkapan “belajarlah hingga ke negeri China”.

Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan China yang sangat pesat saat ini merupakan langkah nyata keberhasilan Pemerintah China dalam membangun perekonomian dan perdagangan internasionalnya. Perekonomian China yang berorientasi pada ekspor menjadi tantangan bagi negaranegara di dunia, khususnya negara berbasis industri. Namun, sudah seharusnya Indonesia tidak hanya belajar dari keberhasilan China dalam membangun perekonomiannya, tetapi juga harus belajar dari pengalaman bangsa lain tentang China, khususnya dalam hubungan dagang internasional dan mentalitas atau kebijakan dalam negeri yang mereka laksanakan.

Pro dan kontra keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian tersebut sangat jelas terasa.Pihak yang pro menyatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA tidak berarti ancaman serbuan produkproduk China ke Indonesia, tetapi merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke China dan negara-negara ASEAN serta peluang tumbuhnya investor dari negara-negara tersebut yang akan menanamkan modalnya di Indonesia guna membuka lapangan usaha baru untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia. Di samping itu, dengan adanya ACFTA, konsumen di Indonesia juga akan diuntungkan dengan adanya barang-barang yang lebih murah yang akan masuk ke Indonesia sehingga daya beli masyarakat akan naik.

Pandangan akan keuntungan yang didapatkan Indonesia dengan keikutsertaannya dalam ACFTA ini berbeda dengan pihak yang menentangnya. Ada kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut bagi kelangsungan hidup industri lokal,khususnya industri mikro, kecil, dan menengah yang saat ini masih berjalan terseok-seok. Mereka menganggap bahwa saat ini kebijakan-kebijakan pemerintah belum dapat menaikkan daya saing industri mikro, kecil, dan menengah di tengah kancah industri internasional, apalagi dengan adanya kebijakan baru dengan dibukanya pasar bebas tersebut sehingga ditakutkan industri mikro, kecil, dan menengah akan semakin terpuruk dan mati secara mengenaskan.

*** The show must go on, inilah istilah yang tepat yang harus diterima masyarakat Indonesia dengan telah diberlakukannya kesepakatan ACFTA tersebut. Pelaksanaan ACFTA seharusnya tidak menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Memang tidak dapat disangkal bahwa di satu sisi kesepakatan tersebut akan banyak menguntungkan bagi para konsumen. Sementara di sisi lain juga dapat mengancam kelangsungan hidup produsen lokal. Akan tetapi dengan telah ditandatanganinya kesepakatan ini sejak lama,masyarakat Indonesia haruslah yakin bahwa pemerintah sudah memikirkan hal tersebut matang-matang.

Masyarakat juga harus yakin bahwa pemerintah telah mempersiapkan segala sesuatunya baik sarana-prasarana serta kebijakan tambahan yang benar-benar prorakyat maupun langkah-langkah dalam menangani konsekuensi negatif yang ditimbulkannya. Dengan demikian keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA dapat benar-benar membawa manfaat dan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa,dan negara. Jika hal tersebut dilihat dari sudut pandang dalam sistem ekonomi Islam yang saat ini masih terus berkembang,kewajiban negara dalam hal ini pemerintah telah diatur, salah satunya untuk memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal, dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi rakyatnya.

Selain itu, negara juga berkewajiban mengatur ekspor dan impor barang sehingga benar-benar dapat mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Pembatasan ekspor bahan mentah dan peningkatan ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri adalah juga merupakan tugas dari pemerintah, demikian halnya dengan pembatasan impor barang-barang yang dapat mengancam industri dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih tegas dalam menerapkan semua kebijakan yang ada dengan memastikan bahwa barang-barang yang masuk ke Indonesia adalah merupakan barang-barang yang legal.

Kesemuanya harus sesuai dengan standar yang ada di Indonesia dan memiliki kepastian akan kehalalannya.Semua itu harus dilakukan pemerintah karena negara adalah pelindung bagi rakyatnya. Di sisi lain, para pejabat dan masyarakat harus lebih meningkatkan sikap nasionalismenya dengan lebih mencintai produk-produk dalam negeri karena hal inilah yang akan menjadi tumpuan bagi tetap eksisnya keberadaan produk-produk lokal.

Para pengusaha juga harus lebih meningkatkan daya saing dengan lebih meningkatkan mutu produk dengan selalu berinovasi guna memperoleh pasar lebih besar yang terbuka di negara-negara ACFTA serta meningkatkan ketahanan mental spiritualnya karena hal tersebut merupakan kunci sukses bagi para pengusaha. Demikian juga dengan para politikus, guna menghadapi ACFTA ini janganlah saling menghujat, tetapi bantulah dengan aksi nyata baik kritik yang bersifat membangun maupun bersifat solusi bagi semua pihak.(*)

H Karjadi Mintaroem
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga

Senin, 15 Februari 2010

Mencintai Disiplin
Wednesday, 10 February 2010

Di negeri ini, ternyata kalimat disiplin masih menjadi momok sebagian kalangan. Disiplin acap kali diartikan secara negatif. Bagi sebagian orang disiplin dipandang sebagai hukuman.

Dalam sebuah organisasi, lembaga atau perusahaan, sering kali kalimat ”perlu didisiplinkan” dimaknai sebagai tindakan tegas yang tak lain adalah hukuman. Di kalangan ilmuwan manajemen, masalah pengembangan kedisiplinan kerja para karyawan, menurut Paul Hersey, Keneth Blanchard, dan Dewey F Johnson dalam Management of Organizational Behavior memang merupakan salah satu masalah yang cukup sulit yang dihadapi seorang pemimpin dalam mengembangkan kinerja pegawai.

Salah satu penyebabnya, ya itu tadi, disiplin sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif atau sebagai sebuah hukuman. Padahal, disiplin memiliki makna positif, khususnya jika ditelaah dari makna asal kata disiplin tersebut. Disiplin berasal dari kata disciple yang memiliki arti learner.

Dengan landasan pemikiran seperti inilah, mereka menyebutnya dengan istilah constructive discipline yang berbeda dengan disiplin sebagai sebuah hukuman (punitive discipline). Pengertian disiplin yang bermakna positif ini dikemukakan pula Soegeng Prijodarminto dalam bukunya,Disiplin Kita Menuju Sukses. Menurutnya, disiplin adalah: Suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan atau ketertiban.

Karena sudah menyatu dengan dirinya, sikap atau perbuatan yang dilakukannya bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia berbuat tidak sebagaimana lazimnya. Definisi yang sangat menarik tentang disiplin pernah disampaikan seorang ulama besar dari Mesir, Prof Dr Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud. Menurut beliau, disiplin atau dalam bahasa Arabnya disebut indhibath adalah ”mewujudkan pelaksanaan atas tuntutan tugas atau mengendalikan suatu realitas atas tuntunan terjadinya sesuatu yang bersifat syar’i atau da’awi.

” Jadi, kedisiplinan dalam perspektif syar’i (syariat), artinya diukur berdasarkan kualitas ketaatannya kepada aturan yang berlaku di lingkungannya sendiri. Jika dilihat dari perspektif da’awi (dakwah), kedisiplinan ditentukan berdasarkan kualitas keberhasilannya dalam proses pembelajaran atau peningkatan kualitas pribadi dan sosial setiap anggota organisasi. Jadi,menurut Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud, disiplin adalah salah satu bentuk ukuran kualitas ibadah.

Seseorang yang kualitas ibadahnya baik, pastilah disiplinnya baik. Orang yang salat tepat pada waktunya adalah orang yang juga disiplin dalam mengerjakan segala hal yang menjadi tugasnya. Disiplin yang paling dahsyat adalah yang berangkat dari iman, dari keyakinan. Orang yang memiliki etos disiplin dari imannya akan menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, dan penuh kerelaan meskipun tugas itu berat. Jadi, disiplin adalah salah satu jenis akhlak.

Akhlak akan melekat dalam diri seseorang jika seseorang itu melakukannya berulang- ulang, sampai akhirnya menjadi karakter. Karakter akan mengkristal menjadi akhlak. Karenanya,disiplin harus diusahakan dan dilatih terus-menerus. Di kalangan pakar manajemen, ada dua pendapat dalam menjelaskan proses pendisiplinan kepada karyawan atau pegawai: Pertama, ada yang mengatakan bahwa disiplin itu harus muncul dari dalam diri sendiri.

Prijodarminto dalam hal ini mengatakan bahwa disiplin harus muncul dari dalam diri sendiri. Disiplin yang muncul dari dalam diri akan menciptakan kesadaran dan kepatuhan yang alami.Kedua, menyatakan bahwa disiplin dibentuk karena pengaruh dari luar. Dengan kata lain, maka makna disiplin itu adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses perilaku, melalui pelajaran, kepatuhan, ketaatan, kesetiaan, hormat pada ketentuan/peraturan dan norma yang berlaku.

Saya sepakat dengan pakar yang berpendapat bahwa hidup disiplin adalah sebuah kepribadian fitrah manusia yang harus ditumbuhkembangkan dengan pola pembelajaran. Atau dengan kata lain, belajar dan pembelajaran adalah sebuah proses aktualisasi nilai-nilai hidup disiplin pada diri seseorang sehingga mampu mengembangkan dirinya ke arah pola hidup yang sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.

Maka benar bahwa disiplin tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus ditumbuhkan,dikembangkan, dan diterapkan dalam semua aspek. Hidup disiplin perlu dikembangkan dalam tiga tahap yang saling berkaitan: Tahap pertama, stimulasi yaitu proses pembelajaran eksternal. Karyawan dilatih dan dikembangkan untuk senantiasa hidup berdisiplin.

Tahap kedua adalah proses internalisasi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pembinaan keinsanian sehingga nilai-nilai disiplin itu menjadi bagian perilaku hidupnya. Tahap ketiga, yaitu aktualisasi. Setiap karyawan diharapkan mampu mengembangkan potensi kedisiplinan sebagai kekuatan mental untuk meraih tujuan dan cita-cita kehidupannya, baik secara individual maupun organisasional. Disiplin seseorang merupakan produk sosialisasi hasil interaksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial.

Karena itu, pembentukan disiplin tunduk pada kaidah-kaidah proses belajar. Disiplin masih menjadi musuh bangsa ini, yang pertama-tama bisa kita usahakan bersama demi kemajuan bangsa ini adalah belajar untuk bersahabat dengan disiplin. Setelah akrab, kita bisa mencintai disiplin dan menghayatinya sampai akhirnya menjadi akhlak kita bersama. Karena kita semua tahu, disiplin adalah salat satu syarat kemajuan dan kejayaan sebuah bangsa.

Habiburrahman El Shirazy
Budayawan Muda, Penulis Novel Ketika Cinta Bertasbih


Kamis, 11 Februari 2010

GENERASI BARU TNI (BAGAIMANA SIPIL MENILAI PERWIRA TNI AD)

GENERASI BARU TNI

Saat Susilo Bambang Yudiyono (SBY) dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, hari ini, bisa dipastikan ajudan yang akan mendampingi SBY merupakan wajah baru. Mengingat ajudan yang lama, yaitu Kol Inf M Munir, telah dipromosikan pada pos pati sejak awal Oktober lalu (dengan pangkat brigjen), sebagai Kasdivif 1/Kostrad (markas Cilodong, Bogor). Hal yang sama juga akan berlaku bagi ajudan wapres, yaitu Kol Inf Meris Wiryadi, yang tak akan lagi mendampingi wapres (terpilih) Boediono. Mirip dengan Brigjen TNI M Munir, Kolonel Meris juga akan menjadi Kasdivif, tepatnya Kasdivif 2/Kostrad (Malang).

Baik Brigjen Munir maupun Kolonel Meris, adalah sama-sama lulusan Akmil 1983, sebuah generasi yang sedang menanti 'lokomotif' untuk segera dipromosikan, mungkinkah kedua mantan pendamping presiden dan wapres tersebut dapat berperan sebagai lokomotif sesuai harapan kolega seangkatannya.

Promosi bagi Angkatan 1983 seolah 'ter-kunci' karena harus menunggu se-lesainya penugasan Brigjen Munir dan Kol Meris sebagai ajudan. Sejak ketentuan usia pensiun bagi perwira diperpanjang dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun, promosi bagi (khususnya) generasi 1980-an memang sedikit tersendat.

Fenomena menarik justru terjadi pada angkatan berikutnya, yaitu lulusan Akmil 1984. Dari generasi ini sudah ada yang menduduki posisi pati, atas nama Brigjen TNI Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Angkatan 1984), yang sudah menjabat Sekretaris Pribadi Presiden, sejak setahun lalu.

Memang jabatan tersebut di luar struktur Mabes TNI, mengingat atasan langsung seorang sekretaris pribadi presiden adalah Mensesneg, bukan Panglima TNI. Namun begitu, penempatan Brigjen Ediwan Prabowo dalam posisi itu jelas merupakan peristiwa penting, walaupun di luar struktur TNI.

Brigif 17 dan Lulusan Terbaik
Perwira-perwira yang disebutsebut di atas adalah perwira yang sehari-harinya bertugas membantu SBY selaku presiden. Dengan begitu, bisakah dikatakan SBY turut berperan dalam menentukan promosi seorang perwira, bahkan promosi sebuah generasi? Bisa jadi memang iya, meski tidak secara langsung, mungkin istilah yang lebih tepat adalah mewarnai ketimbang berperan. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, tentu SBY memiliki privilese untuk menentukan pembantu-pembantunya, termasuk bila SBY ingin merekrut staf yang berasal dari TNI.

Bagi SBY mungkin lebih mudah mengambil SDM dari TNI karena tidak ada beban politisnya. Beda bila merekrut tenaga dari unsur parpol, di mana tarik-menarik kepentingan politiknya sudah menguras energi sendiri dan hanya buang-buang waktu.

Sebagai mantan petinggi TNI, tentu SBY sudah paham kualifikasi perwira macam apa yang kelak bisa meringankan tugas-tugasnya selaku presiden. Ada tren menonjol pada perwiraperwira yang terpilih membantu tugas-tugas kepresidenan, umumnya berasal dari Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad atau lulusan terbaik Akabri (khususnya Akmil). Dua unsur ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang SBY sendiri.

Sebagaimana kita ketahui, saat masih aktif sebagai tentara, SBY lama bertugas di Brigif 17, bahkan sempat menjadi komandan satuan legendaris tersebut pada 1992-1993. Kemudian saat lulus dari Akmil (1973), SBY menjadi lulusan terbaik.

Salah satu perwira yang berasal dari Brigif 17 adalah Brigjen Munir, yang juga pernah menjadi Komandan Brigif 17, sebelum ditarik ke Istana. Asumsi tentang pertimbangan asal-usul kesatuan, untuk pospos di sekitar SBY (selaku presiden), dalam hal ini dari Brigif 17, rasanya tidak berlebihan.

Sudah beredar kabar bahwa untuk ajudan presiden dan wapres baru nanti, telah terpilih perwira yang juga pernah bertugas di jajaran Brigif 17, masing-masing adalah Kol Inf Agus Rochman (ajudan presiden, Akmil 1988) dan Kol Inf MS Fadhilah (ajudan wapres, Akmil 1988).

Kol Inf Agus Rochman pernah menjadi Danyon Linud 305 Kostrad (Karawang), sementara Kol Inf MS Fadhilah pernah menjabat Danyon Linud 330 Kostrad (Cicalengka, Bandung).

Yonif 305 dan Yonif 330 (bersama Yonif 328), adalah satuan-satuan yang berada di bawah Brigif 17. Khusus bagi Yonif 305 dan Yonif 330, tentu memiliki kesan tersendiri bagi SBY pribadi karena pada dua satuan itulah SBY mengawali karier militernya dulu.

Jejak itu diikuti putra SBY, Kapt Inf Agus Harimurti (lulusan terbaik Akmil 2000), yang juga pernah bertugas di Yonif 305, hingga mencapai posisi danki (komandan kompi), sebelum melanjutkan studi di Singapura dan Boston.

Untuk kriteria lulusan terbaik, selain ada nama Brigjen Ediwan Prabowo, nama lain bisa dilihat pada pos Komandan Detasemen Kawal Pribadi (Dandenwalpri), jabatan di bawah Paspampres yang secara khusus menjaga langsung presiden secara fisik.

Baru saja ada pergantian pada posisi tersebut, di mana komandan lama maupun yang baru, sama-sama lulusan terbaik di Akmil. Komandan yang lama adalah Letkol Inf Tri Yuniarto (lulusan terbaik Akmil 1989, kini Kepala Staf Brigif 1/Jaya Sakti), sementara Komandan yang baru adalah Letkol Inf Bam-bang Trisnohadi, lulusan terbaik Akmil 1993.

Krisis Figur
Sebagai presiden, SBY memang menjadi Panglima Tertinggi TNI, itu yang bisa dijadikan pembenaran bagi SBY, bila dia ingin merekrut SDM dari institusi TNI. Posisi selaku Pangti sebenarnya lebih sebagai jabatan simbolis, yang semestinya tidak bisa untuk mengakses langsung perwira-perwira yang akan dijadikan stafnya. Bila SBY bisa melakukannya, itu karena masih begitu kuatnya figur SBY selaku mantan petinggi TNI, yang pengaruhnya masih terasa di jajaran TNI. Meski telah pensiun sejak sepuluh tahun yang lalu, SBY tak ubahnya masih seorang jenderal aktif.

Masih demikian kuatnya figur SBY di mata TNI, mungkin merupakan sinyal, bahwa pada saat-saat sekarang, dari TNI belum lahir figur pimpinan yang benar-benar kuat. Tentu kita tidak terlalu berharap akan tampil figur sekuat Jenderal Benny Murdani seperti dulu, bisa mendekati figur Jenderal Benny saja, rasanya sudah cukup.Seperti yang pernah terjadi pada Jenderal Endriartono Sutarto, saat masih menjabat KSAD (2000-2002), bisa mengimbangi figur presiden saat itu (Gus Dur).

Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, itu sebabnya senantiasa dibutuhkan figur yang betulbetul kuat, untuk memandu TNI mengarungi pusaran waktu. Tantangan zaman sekarang, terbilang kompleks, antara lain masalah rendahnya kesejahteraan prajurit yang seolah tidak ada solusinya, kronisnya soal alutsista, provokasi negara tetangga, ancaman terorisme global, melanjutkan reformasi internal dan seterusnya. Tentu akan lebih baik bila masalah-masalah seperti itu bisa diatasi oleh pimpinan TNI sendiri, tidak perlu tergantung pihak eksekutif (baca: presiden).

Figur kuat identik dengan karisma. Tidak setiap jenderal memiliki karisma. Setiap perwira bisa mencapai derajat pati, namun bukan berarti karisma bisa secara otomatis dia peroleh. Mungkin lebih baik bila fenomena ini dijelaskan dengan mengambil contoh. Dalam sejarah mutakhir TNI, setidaknya ada tiga figur TNI yang secara meyakinkan memang karismatik. Selain Jenderal Benny yang sudah disebut di atas, dua lainnya adalah Jenderal M Yusuf dan Letjen Dading Kalbuadi.

Orang awam pun bisa merasakan bahwa ketiga jenderal tersebut memang berbeda dibanding yang lain. Begitulah, pemimpin tanpa karisma adalah kesia-siaan, yang nantinya hanya jadi bahan tertawaan bawahan atau anak buah. Gejala itu acap kali terjadi pada figur pemimpin kalangan sipil, yang hanya berbaik-baik pada rakyat, saat musim kampanye tiba saja.

Fenomena pemimpin atau politisi sipil tersebut, kiranya bisa dijadikan bahan pelajaran bagi perwira TNI generasi baru, khususnya generasi 1980-an karena satu dasawarsa ke depan adalah era kepemimpinan mereka.

Oleh: Aris Santoso
Pengamat TNI

Kerbau yang Menderita

Kamis, 11 Februari 2010 | 05:15 WIB

Sindhunata

Siapa hidup di tanah tumpah darah Saijah, dia pasti mengenal kerbau. Dikisahkan oleh Multatuli, Saijah yang berumur tujuh tahun itu sangat mencintai kerbaunya. Celakanya, kerbau kesayangan itu dirampas oleh penguasa karena Pak Saijah, ayahnya, tak dapat melunasi pajak tanah. Saijah khawatir, pada masa mendatang tak ada lagi teman yang bisa diajak mengerjakan tanahnya. Lalu apa yang bisa mereka makan?

Pak Saijah, yang warga Desa Badur, Distrik Parangkujang Karesidenan Lebak, Banten, itu lalu menjual keris pusaka, warisan ayahnya. Keris itu tidak terlalu bagus, tetapi sarungnya berikat perak yang ada nilainya. Keris itu laku 24 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau lagi.

Saijah segera bersahabat dengan kerbau itu. Kata Multatuli, arti bersahabat itu adalah Saijah amat mencintai kerbau tersebut dan sebaliknya si kerbau amat setia kepada si kecil Saijah. Apa pun yang diperintahkan Saijah, kerbau itu selalu menurutinya. Suara Saijah memberinya tenaga untuk membelah tanah dengan bajaknya. Sayang, kerbau tercinta ini kembali dirampas penguasa.

Alasannya sama. Pak Saijah lalu menjual lagi warisan orang- tuanya berupa sangkutan kelambu dari perak, laku 18 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau baru lagi. Saijah tak segera jatuh cinta pada kerbaunya yang baru. Ia masih teringat kerbaunya yang lama, dan sedih, jangan-jangan kerbau kesayangan itu disembelih orang di kota. Namun, lama-lama Saijah menyayangi juga kerbaunya yang baru, apalagi, kata Pak Penghulu, kerbau baru itu punya user-useran yang akan membawa rezeki.

Suatu hari Saijah dan kawan- kawannya menggembalakan kerbau-kerbau mereka. Tiba-tiba terdengar suara auman macan. Anak-anak itu menyengklak kerbaunya, memacunya untuk segera lari. Saijah juga segera melompat ke punggung kerbaunya. Malang ia terpelanting dan jatuh ke tanah. Si kerbau segera melindunginya. Ketika macan mendekat hendak menerkam Saijah, kerbau itu menanduk perutnya. Macan terkapar dan mati.

Kerbau itu terluka dan ibu Saijah merawat luka-lukanya karena kerbau itu telah menyelamatkan nyawa anaknya. Sayang, lagi-lagi kerbau itu dirampas penguasa karena Pak Saijah tak sanggup melunasi pajak tanah. Waktu kerbau itu dirampas, Saijah berumur 12 tahun dan Adinda, tunangannya, telah pandai menenun sarung dan membatik.

Karena sudah tidak mempunyai uang, Pak Saijah menggarap sawahnya dengan kerbau sewaan. Hati Pak Saijah sedih karena tidak mempunyai kerbau sendiri. Tak lama kemudian, ibu Saijah juga meninggal karena sedihnya, dan hilangnya kerbau itulah awal dari penderitaan yang kemudian dialami oleh Saijah dan Adinda.

Kerbau adalah bagian hidup warga Nusantara. Kehilangan kerbau sama dengan kehilangan nyawa. Kerbau memang tak bisa dipisahkan dari penduduk Nusantara. Itulah yang diuraikan oleh sarjana Belanda, J Kreemer, dalam bukunya, De Karbouw, Zijn Betekenis voor de Volken van De Indonesische Archipel (1955).

Dengan panjang lebar Kreemer menunjukkan bagaimana hubungan kerbau dengan hidup harian penduduk Nusantara. Kerbau mempunyai kisah-kisah yang pre-historis. Paling penting, kerbau adalah binatang pertanian (landbouwdier), yang membantu petani mencari nafkah. Kerbau juga binatang transportasi dan binatang niaga. Di banyak tempat, kerbau digunakan untuk lomba atau karapan.

Kerbau juga dianggap binatang mistis. Di Toraja, orang percaya, bila tiba-tiba ada kerbau masuk kampung dan tak kembali lagi ke tempat penggembalaannya, berarti akan ada orang mati. Kerbau juga dipercaya bisa menitikkan air mata bila majikannya meninggal dunia.

Dirampas haknya

Di Jawa ada kepercayaan, kerbau adalah patron bagi pertanian. Karena itu, petani yakin bahwa kerbau dengan sendirinya dapat diajak membajak dengan tepat dan benar. Maka, sambil membajak, ada doa yang diucapkan demikian, ”O pelindung para tani, bantulah kami. Singkirkanlah segala penyakit dan wabah. Buanglah segala tikus dan hama”.

Di beberapa desa di Jawa, demikian penelitian Van Hien seperti dikutip Kreemer, tiap malam Jumat Paing, orang membuat sesaji untuk kesejahteraan kerbau-kerbau mereka. Mereka percaya, kerbau itu mempunyai roh dan danyang-danyang. Dengan sesaji itu dipanggillah roh dan danyang-danyang agar mau melindungi kerbau-kerbau mereka, membuatnya menjadi sentosa dan sehat agar bisa diajak untuk kuat membajak.

Kerbau tiba-tiba diajak demonstrasi ikut meramaikan politik kita, akhir-akhir ini. Sayang, kerbau hanya dijadikan dan ditangkap sebagai bahan olok-olokan. Kalau dipahami benar makna kerbau bagi masyarakat Nusantara, Presiden mestinya tidak perlu tersinggung. Sama dengan kerbau, berarti menyelami betul nyawa dan hidup penduduk Nusantara, lebih-lebih penderitaannya. Juga, serajin dan sesetia binatang yang sepanjang sejarah menemani petani membajak tanah untuk mencari nafkah.

Dari pihak demonstran, kerbau mestinya tak hanya disajikan sebagai simbol kedunguan dan kemalasan, tetapi juga simbol milik yang dirampas oleh penguasa sehingga membuat rakyat menderita, seperti kisah Saijah. Jika demikian, tepatlah kritik mereka terhadap pemerintah: tidakkah sampai sekarang hak-hak wong cilik masih terus dirampas oleh penguasa seperti di zaman Saijah dan Adinda? Kerbau adalah lambang penderitaan sekaligus keselamatan dan kesejahteraan rakyat Nusantara. Siapa menolak dan menistakan kerbau, dia menjauhi keselamatan dan kualat terhadap rakyat Nusantara.

Sindhunata Budayawan

Pendidikan Karakter Integral

Kamis, 11 Februari 2010 | 05:14 WIB

Doni Koesoema A

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik.

Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.

Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.

Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.

Menjaga keutuhan

Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri sebuah lembaga pendidikan. Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi sebab anak malah tergoda menjadi pencuri.

Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko. Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan.

Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.

Tiga basis

Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

Doni Koesoema A Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, US

Rabu, 10 Februari 2010

Menggugat Demokrasi Kita

Menggugat Demokrasi Kita

Rabu, 10 Februari 2010 | 03:38 WIB

Oleh Kiki Syahnakri

Pembicaraan tentang demokrasi kembali merebak. Ada yang berpendapat bahwa sistem demokrasi di Indonesia sudah on the track dan tinggal menyempurnakan. Ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa demokrasi di Indonesia telah gagal karena tidak mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan.

Pendapat yang lebih tajam disampaikan oleh Bima Arya Sugiarto bahwa di tengah kemajuan demokrasi Indonesia ada tiga kelompok yang berpotensi membahayakan demokrasi itu sendiri.

Tiga kelompok itu adalah kelompok ”nasionalis romantis” yang menyederhanakan persoalan dengan menyerukan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 45, kelompok ”aktivis romantis” yang tidak bisa mengikuti perkembangan modern dan hanya tahu ”turun ke jalan” sebagai satu-satunya metode pembebasan, serta ”kaum fundamentalis” yang selalu mengaitkan segala hal dengan hukum Islam dan memandangnya sebagai payung tunggal untuk penyelesaian sejumlah masalah bangsa (Rakyat Merdeka, 31/1).

Pernyataan ini mengundang saya untuk turut meramaikan diskusi atau lebih tepatnya mengkritisi pendapat tersebut.

Demokrasi Pancasila

Pada hakikatnya, demokrasi bukanlah gagasan mewah atau ide statis yang ”terjun bebas” dari langit, kemudian diletakkan di ruang hampa, melainkan harus ditempatkan dalam realitas atau dikawinkan dengan realisme kehidupan multiaspek masyarakat atau bangsa-bangsa yang majemuk secara kodrati.

Oleh karena itu, sebagai cara atau konsep demokrasi sangatlah variatif; ada yang disebut demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Pemaksaan suatu sistem demokrasi (demokrasi liberal, misalnya) dalam suatu tatanan masyarakat atau bangsa pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Agar demokrasi itu benar-benar hidup dan terimplementasi secara efektif, tidak boleh diimajinasikan secara idealistis semata. Formula dan elaborasinya harus disesuaikan realitas dan tatanan sosial-budaya lokal/domestik. Tata nilai sosial-kultural domestik itulah yang justru menjadi ”ladang pertumbuhan” bagi benih demokrasi. Para pendiri bangsa (founding fathers/mothers) sebenarnya secara sangat cerdas, arif, dan visioner telah memformulasikan demokrasi Pancasila sebagai sistem demokrasi terbaik dan paling tepat untuk Indonesia, dengan merujuk pada nilai-nilai universal kemudian mengawinkannya dengan karakteristik bangsa dan sejumlah ciri keindonesiaan.

Muatan nilai-nilai kearifan lokal, seperti musyawarah mufakat, gotong royong, semangat kekeluargaan, semangat Bhinneka Tunggal Ika, harmoni dalam persatuan, pola perwakilan/keterwakilan, membuat demokrasi Pancasila benar-benar berakar dan bersumber pada ranah keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis. Nilai dan semangat itu telah termuat padat dalam Pembukaan UUD 1945.

Perkembangan demokrasi

Realitas perkembangan demokrasi di Indonesia kini telah didominasi oleh sistem demokrasi liberal yang amat mengedepankan kebebasan individu, sistem jajak pendapat, dan keterpilihan.

Dihadapkan pada fenomena feodalisme yang makin mewabah dan supremasi hukum yang masih kedodoran, kebebasan tadi malah menyuburkan Machiavellianisme, bahkan telah bermetamorfosis dalam wajah yang lebih canggih karena dibungkus kesantunan (good looking machiavellian) serta meningkatkan perilaku perburuan kekuasaan dan koruptif yang meluas ke segala institusi dan level pemerintahan.

Adapun sistem jajak pendapat, pemilihan langsung (one man one vote), pada kenyataannya tidak melahirkan kepemimpinan yang lebih berkualitas. Sebaliknya, yang dihasilkan adalah kepemimpinan dengan kompetensi, pengalaman, dan karakter yang memprihatinkan. Patut disadari bahwa mayoritas pemilih di Indonesia masih berada pada tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang rendah. Mereka belum menjadi voters yang sesungguhnya, melainkan sebagai supporters yang tidak digerakkan oleh nalar dan nurani, tetapi kerap kali uang berperan besar karena dorongan kebutuhan hidup.

Patut dipahami penegasan Bung Hatta bahwa prinsip demokrasi bukanlah ”keterpilihan”, melainkan ”keterwakilan” dengan mengedepankan prinsip egalitarianisme. Sementara itu, praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal justru ”membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Seharusnya suku Dani, Anak Dalam, dan sejumlah kelompok minoritas diwakili dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight). Keterwakilan merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.

Adalah salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan jajak pendapat karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks keindonesiaan.

Kembali ke ”roh”

Yang harus dilakukan bangsa Indonesia saat ini adalah menghidupkan kembali spirit Pembukaan UUD 1945 yang merupakan ”roh” dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Benar bahwa batang tubuh UUD 1945 bukanlah barang keramat atau sesuatu yang transendental sehingga tidak bisa diubah, Pasal 37 UUD 1945 memberi peluang untuk itu.

Namun, sekali lagi bila yang terjadi adalah pengingkaran terhadap spirit mukadimahnya dan promosi besar-besaran terhadap sistem demokrasi liberal yang tidak berakar pada basis kultural bangsa Indonesia, sungguh membahayakan demokrasi itu sendiri, bahkan potensial menimbulkan keretakan bangsa.

Dalam beberapa hal saya setuju dengan Bima Arya, tetapi uraian di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ancaman nyata justru datang dari kelompok ”romantis liberalis”, bukan dari kaum nasionalis romantis. Karena itu, urgen bagi bangsa Indonesia untuk segera kembali pada spirit mukadimah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa bernegaranya.

Kiki Syahnakri

Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD)

Senin, 01 Februari 2010

Awal 2010 di Denpasar

Mengawali kehidupan ditempat yang baru memang membawa berbagai macan konsekuensi, baik itu yang bernuansa positif maupun negatif. Seperti juga yang aku alami saat ini, harus pindah tugas dari Makassar menuju Pulau Dewata. Memang kedengeran enak mendengar nama Pulau Dewata karena identik dengan tempat yang indah, turis, dan tempat2 hiburan.

Beberapa hari menginjakkan kaki di sini ternyata memeng betul Bali itu tempat yang indah, sangat indah malah....namun disisi lain di sini saya harus malaksanakan dinas sebagai anggota TNI dengan bersusah payah mencari tempat tinggal, karena tidak ada rumah dinas lagi, jangankan untuk saya yang baru berpangkat Kapten , level Pabandya yang Letkol pangkatnya katanya harus ngontrak rumah juga.

Satu lagi yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya ternyata di Bali khususnya Denpasar tidak ada angkot sehingga satu lagi permasalahan yang harus dihadapi, mencari kendaraan....
Untungnya masih ada teman yang berbaik hati meminjamkan motor sementara waktu, sehingga tidak perlu lagi aku mengeluarkan ongkos tambahan sewa motor.

Yaaaa....inilah awal yang penuh tantangan mengawali tugas di Denpasar di awal Tahun 2010, Semoga dengan semua ini menjadikan diriku akan bisa lebih mensyukuri apapun yang diberikan olehNya......................................................................................................................................