SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Foto saya
Kupang, NTT, Indonesia

Rabu, 10 Februari 2010

Menggugat Demokrasi Kita

Menggugat Demokrasi Kita

Rabu, 10 Februari 2010 | 03:38 WIB

Oleh Kiki Syahnakri

Pembicaraan tentang demokrasi kembali merebak. Ada yang berpendapat bahwa sistem demokrasi di Indonesia sudah on the track dan tinggal menyempurnakan. Ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa demokrasi di Indonesia telah gagal karena tidak mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan.

Pendapat yang lebih tajam disampaikan oleh Bima Arya Sugiarto bahwa di tengah kemajuan demokrasi Indonesia ada tiga kelompok yang berpotensi membahayakan demokrasi itu sendiri.

Tiga kelompok itu adalah kelompok ”nasionalis romantis” yang menyederhanakan persoalan dengan menyerukan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 45, kelompok ”aktivis romantis” yang tidak bisa mengikuti perkembangan modern dan hanya tahu ”turun ke jalan” sebagai satu-satunya metode pembebasan, serta ”kaum fundamentalis” yang selalu mengaitkan segala hal dengan hukum Islam dan memandangnya sebagai payung tunggal untuk penyelesaian sejumlah masalah bangsa (Rakyat Merdeka, 31/1).

Pernyataan ini mengundang saya untuk turut meramaikan diskusi atau lebih tepatnya mengkritisi pendapat tersebut.

Demokrasi Pancasila

Pada hakikatnya, demokrasi bukanlah gagasan mewah atau ide statis yang ”terjun bebas” dari langit, kemudian diletakkan di ruang hampa, melainkan harus ditempatkan dalam realitas atau dikawinkan dengan realisme kehidupan multiaspek masyarakat atau bangsa-bangsa yang majemuk secara kodrati.

Oleh karena itu, sebagai cara atau konsep demokrasi sangatlah variatif; ada yang disebut demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Pemaksaan suatu sistem demokrasi (demokrasi liberal, misalnya) dalam suatu tatanan masyarakat atau bangsa pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Agar demokrasi itu benar-benar hidup dan terimplementasi secara efektif, tidak boleh diimajinasikan secara idealistis semata. Formula dan elaborasinya harus disesuaikan realitas dan tatanan sosial-budaya lokal/domestik. Tata nilai sosial-kultural domestik itulah yang justru menjadi ”ladang pertumbuhan” bagi benih demokrasi. Para pendiri bangsa (founding fathers/mothers) sebenarnya secara sangat cerdas, arif, dan visioner telah memformulasikan demokrasi Pancasila sebagai sistem demokrasi terbaik dan paling tepat untuk Indonesia, dengan merujuk pada nilai-nilai universal kemudian mengawinkannya dengan karakteristik bangsa dan sejumlah ciri keindonesiaan.

Muatan nilai-nilai kearifan lokal, seperti musyawarah mufakat, gotong royong, semangat kekeluargaan, semangat Bhinneka Tunggal Ika, harmoni dalam persatuan, pola perwakilan/keterwakilan, membuat demokrasi Pancasila benar-benar berakar dan bersumber pada ranah keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis. Nilai dan semangat itu telah termuat padat dalam Pembukaan UUD 1945.

Perkembangan demokrasi

Realitas perkembangan demokrasi di Indonesia kini telah didominasi oleh sistem demokrasi liberal yang amat mengedepankan kebebasan individu, sistem jajak pendapat, dan keterpilihan.

Dihadapkan pada fenomena feodalisme yang makin mewabah dan supremasi hukum yang masih kedodoran, kebebasan tadi malah menyuburkan Machiavellianisme, bahkan telah bermetamorfosis dalam wajah yang lebih canggih karena dibungkus kesantunan (good looking machiavellian) serta meningkatkan perilaku perburuan kekuasaan dan koruptif yang meluas ke segala institusi dan level pemerintahan.

Adapun sistem jajak pendapat, pemilihan langsung (one man one vote), pada kenyataannya tidak melahirkan kepemimpinan yang lebih berkualitas. Sebaliknya, yang dihasilkan adalah kepemimpinan dengan kompetensi, pengalaman, dan karakter yang memprihatinkan. Patut disadari bahwa mayoritas pemilih di Indonesia masih berada pada tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang rendah. Mereka belum menjadi voters yang sesungguhnya, melainkan sebagai supporters yang tidak digerakkan oleh nalar dan nurani, tetapi kerap kali uang berperan besar karena dorongan kebutuhan hidup.

Patut dipahami penegasan Bung Hatta bahwa prinsip demokrasi bukanlah ”keterpilihan”, melainkan ”keterwakilan” dengan mengedepankan prinsip egalitarianisme. Sementara itu, praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal justru ”membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Seharusnya suku Dani, Anak Dalam, dan sejumlah kelompok minoritas diwakili dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight). Keterwakilan merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.

Adalah salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan jajak pendapat karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks keindonesiaan.

Kembali ke ”roh”

Yang harus dilakukan bangsa Indonesia saat ini adalah menghidupkan kembali spirit Pembukaan UUD 1945 yang merupakan ”roh” dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Benar bahwa batang tubuh UUD 1945 bukanlah barang keramat atau sesuatu yang transendental sehingga tidak bisa diubah, Pasal 37 UUD 1945 memberi peluang untuk itu.

Namun, sekali lagi bila yang terjadi adalah pengingkaran terhadap spirit mukadimahnya dan promosi besar-besaran terhadap sistem demokrasi liberal yang tidak berakar pada basis kultural bangsa Indonesia, sungguh membahayakan demokrasi itu sendiri, bahkan potensial menimbulkan keretakan bangsa.

Dalam beberapa hal saya setuju dengan Bima Arya, tetapi uraian di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ancaman nyata justru datang dari kelompok ”romantis liberalis”, bukan dari kaum nasionalis romantis. Karena itu, urgen bagi bangsa Indonesia untuk segera kembali pada spirit mukadimah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa bernegaranya.

Kiki Syahnakri

Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD)

Tidak ada komentar: