SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Foto saya
Kupang, NTT, Indonesia

Rabu, 17 September 2008

politik popularitas dan kesejahteraan

Politik Popularitas dan Kesejahteraan
Selasa, 16 September 2008 | 00:21 WIB

Oleh Tata Mustasya

Dari acceptance speech Barack Obama sebagai kandidat Partai Demokrat dalam Pemilihan Presiden AS di Denver, Kamis (28/8) malam, kita tahu, popularitas—termasuk gemerlap lampu kilat dan pidato memukau—dalam politik tidaklah mesti negatif.

Sebaliknya, dia mampu menjelma menjadi alat komunikasi efektif antara kandidat dan masyarakat. Ini menangkal ketakutan banyak pihak, politik berbasis popularitas di Indonesia berpeluang besar memunculkan pemimpin instan, tidak kompeten, dan miskin integritas. Syamsuddin Haris (Kompas, 20/8) menunjukkan alergi terhadap kuatnya pengaruh popularitas dalam politik saat ini.

Pasar politik dan popularitas

Manfaat politik popularitas seharusnya tak ditinjau secara emosional dan asumtif. Hal itu mesti dilihat utuh melalui dampaknya terhadap: (1) struktur pasar politik; (2) kebijakan publik: memperbaiki atau memperburuk kesejahteraan.

Dalam sistem demokratis—di mana pemilihan langsung presiden dan kepala daerah diterapkan—mekanisme di pasar politik dengan insentif dan disinsentifnya menjadi penentu. Kandidat sebagai ”penjual” menawarkan kebijakan publik. Masyarakat pemilih sebagai ”pembeli” akan menentukan pilihan politik pada tawaran kebijakan yang paling mereka minati.

Pentingnya popularitas menjadi hal tak terhindarkan dalam sistem one man one vote. Tawaran Obama tentang penyediaan lapangan kerja, pengembangan energi terbarukan, dan kebijakan luar negeri yang lebih ”ramah” tak saja disampaikan dalam narasi kering, tetapi heroik dan menarik. Tujuannya, agar pesannya dan menjangkau masyarakat.

Burukkah hal ini dalam konteks Indonesia? Sebaliknya. Pertama, politik popularitas berpotensi membongkar oligarki politik yang mengakar. Kedua, pilihan pada politik popularitas menunjukkan elite politik tidak punya pilihan lain kecuali berkomunikasi dan ”mengalah” pada kehendak pemilih. Artinya, politik popularitas menunjukkan menguatnya insentif buat elite untuk menghiraukan pemilih.

Pada masa pemilihan tidak langsung, perilaku broker—elite politik, ormas, bisnis, LSM, dan akademisi—sering mengeksklusi pemilih dari pasar politik. Transaksi politik hanya terjadi antara elite dan yang mengklaim sebagai ”simpul” dan perwakilan massa.

Bagi politisi dan elite, model ini lebih ringkas dibanding politik popularitas. Namun, arus demokratisasi membuat elite politik menempuh politik popularitas jika tak ingin tergusur. Hal ini mampu mengoreksi struktur pasar politik oligarkis.

Dalam pilkada, parpol yang ”menjual” kandidat sesuai selera publik meraih kemenangan. Hal ini berdampak pada perilaku elite politik. Kini, mereka harus menyerap informasi—melalui survai dan dialog— dari masyarakat: kaum muda, ibu-ibu, petani, pedagang pasar. Aneka kesepakatan antarelite dan diskusi pakar tidak lagi memadai.

”Kemasan”—kerap dikritik sebagai artifisial—memang penting dalam politik popularitas. Kemasan bukan tanpa fungsi, tetapi mampu menjadi energi untuk melakukan perubahan tataran praktis. Soekarno, Martin Luther King, dan Nelson Mandela memelopori perubahan bukan hanya karena konsep besarnya, tetapi figur yang memesona publik. Hal yang didamba masyarakat tentang kualitas pemimpin juga tidak kontraproduktif. Lembaga Survei Indonesia (2007) menunjuk kualitas pemimpin yang dikehendaki: (1) jujur; (2) berempati; (3) tegas; dan (4) pintar.

Kesejahteraan

Menurut masyarakat, masalah terpenting yang harus diselesaikan berdasar skala prioritas adalah adalah (1) pengangguran dan kemiskinan; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) korupsi (LSI, 2007). Semua terkait kesejahteraan, jangka pendek dan segera.

Politik popularitas—nasional dan daerah—praktis selalu mengangkat masalah itu. Ini menunjukkan, pasar politik telah bekerja. Kehendak masyarakat ini tidak dangkal, tetapi cermin kebutuhan nyata. Maka, pemimpin ideal harus mampu memberi capaian segera (quick wins) selain visi yang lebih strategis.

Bagaimanapun ada beberapa pembenahan mendesak. Pertama, berbagai pihak—media berperan sentral—harus menyediakan informasi memadai bagi masyarakat tentang ”produk” kebijakan yang ditawarkan, termasuk konsistensi kandidat.

Kedua, meregulasi penggalangan dana sehingga besar uang yang dihimpun mencerminkan kemampuan kandidat dalam mendapat dukungan publik. Pembatasan jumlah sumbangan perseorangan itu mutlak.

Ketiga, berbagai pihak harus aktif memunculkan pemimpin alternatif untuk berkompetisi dalam pasar politik.

Kini, generasi ”pertama” politik popularitas tak bisa menghindar dari insentif dan disinsentif pasar politik: interaksi dengan pemilih dan evaluasi masyarakat terhadap kinerja, terutama terkait kesejahteraan. Generasi ”kedua”—diawali pilkada setelah 2010 dan Pemilu 2014—harus mendorong perbaikan kerja dan struktur pasar politik. Dan proses itu harus dimulai dari sekarang.

Tata Mustasya Analis Ekonomi-Politik dan Kebijakan Pu

Tidak ada komentar: