SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Foto saya
Kupang, NTT, Indonesia

Selasa, 01 Maret 2011

PERBATASAN RI-RDTL Arti Penting dan Sumber Ancaman

PERBATASAN RI-RDTL

Arti Penting dan Sumber Ancaman

Oleh : Mayor Inf Slamet, Wadan Satgas Pamtas RI-RDTL

Pendahuluan

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis yang berada diantara dua benua Asia dan Australia serta dikelilingi Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan mempunyai arti geopolitis dan strategis yang cukup diperhitungkan oleh negara-negara disekitarnya. Posisi atau letak wilayah NKRI berbatasan dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Republik Palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Sementara perbatasan daratnya dengan tiga negara yaitu Malaysia, PNG dan Timor Leste.

Perbatasan wilayah negara pada hakekatnya mengandung potensi strategis dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya, baik yang bernilai positif maupun negatif khususnya aspek politik luar negeri dan aspek pertahanan keamanan negara di daerah perbatasan tersebut.

Potensi strategis dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya akan menjadi suatu permasalahan bila tidak ada upaya untuk menginventarisir, mengkaji, merumuskan inti permasalahan, dan menindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian bersama serta membuat/memyusun kebijakan untuk mengatur wilayah masing-masing negara.

Perbatasan negara merupakan perwujudan kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu, perbatasan negara memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keutuhan suatu wilayah. Dengan adanya batas negara ini, maka jelaslah kewenangan suatu bangsa dalam mengelola seluruh urusan pemerintahan yaitu meliputi politik , ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

Sejarah Terbentuknya Perbatasan RI-RDTL

Mendiskusikan tentang sejarah awal perbatasan Indonesia-Timor Leste tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang sejarah Timor. Hal ini karena pada dasarnya Timor adalah suatu kesatuan pulau yang kemudian dibagi dua menjadi wilayah Portugis dan Belanda pada masa kolonial. Pulau Timor menarik perhatian dunia luar termasuk juga Portugis dan Belanda karena pesona aroma kayu cendana yang selain dipakai untuk perabotan rumah juga digunakan untuk keperluan ritual keagamaan.

Perbatasan Timor Barat dan Timor Leste ditetapkan melalui serangkaian perundingan, konvensi yang tidak saja melibatkan Belanda dan Portugis tetapi juga pihak ketiga yakni pengadilan arbitrasi yang berkantor di Paris. Disamping itu penetapan perbatasan antara kedua wilayah koloni tersebut memakan waktu lama dan proses yang panjang. Sejarah terbentuknya perbatasan RI-RDTL sejak awalnya menyisakan berbagai problematika. Tidak saja, karena tidak semua titik perbatasan berhasil diselesaikan oleh perundingan bilateral Belanda-Portugis maupun arbitrasi yang dilakukan Mahkamah Internasional, tetapi juga menyangkut dinamika daerah perbatasan selama hampir 100 tahun berselang yang membuat perjanjian tersebut menciptakan berbagai persoalan teknis maupun non-teknis, seperti misalnya perubahan kontur geografis penanda perbatasan (sungai, bukit dan lain-lain), adanya jual beli tanah (tepat di garis perbatasan), serta terjadinya perpindahan penduduk.

Sejarah perbatasan Timor Barat dan Timor Timur diawali dari perebutan wilayah antara Portugis dan Belanda dalam memperebutkan dominasi perdagangan kayu cendana di Pulau Timor yang secara sporadis berlangsung mulai 1701 hingga tahun 1755, yang kemudian melahirkan kesepakatan “Contract of Paravinici“ pada tahun 1755 dimana antara Belanda dan Portugis sepakat membagi Pulau Timor menjadi dua bagian yaitu bagian Barat yang berpusat di Kupang menjadi milik Belanda dan bagian Timur yang berpusat di Dili menjadi milik Portugis. Walaupun keduanya telah menandatangani kontrak tetapi penetapan tapal batas tidak pernah dinegosiasikan secara jelas. Perundingan lanjutan tahun 1846, Portugis menukarkan wilayah Flores yang tadinya dikuasai Portugis dengan sebuah enclave di pantai utara yang kini dikenal sebagai daerah Oecusse dan dua pulau kecil dilepas pantai utara yakni Atauro dan Jaco. Sejak saat itulah Flores dikuasai Belanda dan Oecusse menjadi milik Portugis.

Pada 1 Oktober 1904 sebuah konvensi bernama “A Convention for The Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Islands of Timor “ ditandatangani oleh kedua belah pihak di Den Haag, yang kemudian dilanjutkan proses ratifikasi secara serentak (oleh pihak Portugis dan Belanda) pada tanggal 29 Agustus 1908. Konvensi 1904 inilah yang kemudian dianggap sebagai perjanjian yang legal yang telah menyelesaikan berbagai perbedaan di seputar masalah perbatasan antara Belanda dan Portugis, khususnya di Pulau Timor.

Namun demikian, beberapa tahun kemudian beberapa daerah yang tidak sempat di survei (termasuk daerah Oecusse) masih sibuk dibicarakan oleh tim yamg dibentuk kedua Negara. Pada 1909, komisi perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah belanda dan Portugis gagal mencapai kata sepakat dalam menentukan tapal batas di wilayah Oecusse (termasuk daerah sungai Noel Meto)

Kegagalan ini membawa Belanda dan Portugis ke Peradilan Internasional. Pada 3 April 1913 Belanda dan portugis menandatangani konvensi berisi tentang kesepakatan mereka membawa kasus sengketa perbatasan ke Permanent Court of Arbitration (pengadilan arbitrasi) di Paris. Dalam keputusannya pada 26 Juni 1914 pengadilan arbitrasi memutuskan memenangkan klaim Belanda atas daerah-daerah yang masih dipersengketakan.

Ketika Timor Timur merupakan bagian Indonesia (1976-1999) isu perbatasan Timor Barat dan Timor Timor menjadi tidak relevan lagi. Masyarakat di sekitar wilayah perbatasan yang pada dasarnya memiliki keeratan hubungan sosial-budaya pun bebas untuk saling berhubungan dan melakukan transaksi ekonomi. Pembukaan perbatasan pada masa itu, telah mengubah secara substansial aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat.

Namun, 24 tahun kemudian, ketika Timor Leste merdeka masalah perbatasan menjadi hal yang penting untuk dibicarakan antara pemerintah Indonesia maupun Timor Leste. Langkah awal yang dilakukan adalah menyepakati kembali tapal batas yang pernah ada antara Timor Barat dan Timor Timur. Pada 2 Pebruari 2002 Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda dan pimpinan UNTAET, Sergio Vierra de Mello, menandatangani kesepakatan untuk mengatur prinsip uti posideti juris, yaitu memakai Konvensi 1904 yang telah ditandatangani Portugis dan Belanda serta hasil keputusan Permanent Court of Arbitration 1914, sebagai dasar hukum yang mengatur perbatasan RI-RDTL.

Sejauh ini kedua Negara telah menandatangani persetujuan sementara (provisional agreement) pada 8 April 2005 yang ditandatangani oleh Menlu Ri Hasan Wirayuda dan Menlu RDTL Ramos Horta. Perjanjian sementara ini menyepakati 907 koordinat titik batas atau sekitar 96% dari total garis batas darat. Ada beberapa segment di wilayah perbatasan yang masih mengganjal tercapainya kesepakatan akhir (final agreement) antara kedua negara, yang bisa menjadi isu sensitive yang berpotensi untuk memicu konflik perbatasan antara kedua negara.

Fungsi Perbatasan RI-RDTL

Perbatasan (borders) dipahami sebagai suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu Negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah Negara lain. Namun sesungguhnya pengertian mengenai perbatasan tidak sesederhana itu, karena di dalamnya juga mengandung beberapa dimensi lain, yaitu antara lain garis batas (border lines), sempadan (boundary) dan perhinggaan (frontier), yang tentu merupakan persoalan politik.

Secara umum, garis batas tidak hanya merupakan garis demarkasi yang memisahkan sistem hukum yang berlaku antar Negara, tetapi juga merupakan contact point (titik singgung) struktur kekuatan teritorial nasional dari negara-negara yang berbatasan. Garis batas ini pada dasarnya memiliki dua fungsi yaitu ke dalam, untuk pengaturan administrasi pemerintahan dan penerapan hukum nasional dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara dan keluar, berkaitan dengan hubungan internasional, untuk menunjukan hak-hak dan kewajiban menyangkut perjanjian bilateral, regional maupun internasional dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara konsep kedua, perbatasan sebagai boundary merujuk pada tapal batas yang pasti misalnya penghalang fisik atau segala sesuatu yang kasat mata. Kategori pembentukan batas itu sendiri dapat bermula dari kriteria geografis, ikatan primordial atau bahkan ideologi. Kategori apa pun yang digunakan seseorang tidak dapat lagi berperilaku bebas seperti ketika masih berada di dalamnya. Dalam wilayah yang sama dapat diketemukan kesedaran kolektif (collective identity). Beberapa bentukan geologis menentukan batas alami seperti gunung, danau atau sungai. Di samping itu benda-benda buatan manusia seperti pilar tugu, kawat berduri, dinding beton atau sign post juga dapat digunakan sebagai penanda batas antarnegara. Bahkan,kombinasi batas alami dan buatan manusia juga sangat lazim digunakan.

Sedangkan konsep terakhir merujuk pada pemahaman perbatasan sebagai frontier yang bermakna “daerah depan”. Pada zaman dahulu, frontier ini dianalogikan sebagai daerah tempur, sehingga harus dikosongkan karena akan digunakan sebagai daerah tempat dilaksanakannya pertempuran. Pada dewasa ini, ”daerah depan” tersebut seharusnya lebih dimaknai sebagai daerah “etalase” untuk menunjukkan berbagai kemajuan dan keberhasilan pembangunan.

Dengan melihat konsep-konsep tersebut tidak sulit untuk mengatakan bahwa pengertian mengenai perbatasan sangat kompleks. Meski konsep-konsep tersebut cenderung mengandung konotasi pemisahan, dalam realitasnya selalu ada kemungkinan tumpang tindih. Di perbatasan Indonesia-Timor Leste, misalnya, ide-ide mengenai border lines dan boundary pun menjadi tidak terpisahkan. Hal ini terutama muncul ketika persoalan ketidakjelasan tapal batas menyebabkan klaim tumpang tindih antar dua masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan, baik mengenai wilayah maupun dalam pengelolaan sumber daya alam di sekitar wilayah tersebut. Padahal dipahami secara umum bahwa persoalan wilayah dan tapal batas merupakan salah satu isu menarik, yang bahkan sering menimbulkan konflik dan peperangan antar Negara. Selain menyangkut kedaulatan, kejelasan wilayah dan tapal batas juga berhubungan erat dengan harga diri dan martabat suatu bangsa yang berdaulat. Situasi ini juga di jumpai di perbatasan RI-RDTL.

Dari uraian diatas menunjukan bahwa perbatasan, termasuk perbatasan darat RI-RDTL memiliki arti yang sangat strategis, perbatasan sebagai beranda terdepan yang secara geografis berbatasan langsung dengan Negara lain memiliki fungsi-fungsi yang melekat sangat kuat, yaitu pertahanan-keamanan, kesejahteraan dan lingkungan.

Fungsi pertahanan-keamanan sangat terkait dengan pemahaman perbatasan secara geostrategis yang diyakini sebagai penjelmaan dari kedaulatan politik suatu Negara. Makna yang terkait di dalamnya sangat luas, tidak hanya memberikan kepastian hukum atas yuridiksi wilayah teritorial Indonesia, tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek lain seperti kewenangan administrasi pemerintahan nasional dan lokal, kebebasan navigasi, lalu lintas perdagangan, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Sebagai wilayah batas antar Negara, perbatasan juga merupakan sabuk keamanan (security belt) yang berada pada lingkaran prioritas pertama dalam strategi pertahanan keamanan Indonesia terhadap segala bentuk potensi ancaman dari luar. Wilayah perbatasan sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, baik dalam bentuk idiologi, politik, sosial budaya dan pertahanan-keamanan.

Perbatasan RI-RDTL juga memiliki fungsi kesejahteraan. Sebagai pintu gerbang Negara, wilayah perbatasan tentu memiliki keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan Negara tetangga. Dalam konteks ini, wilayah perbatasan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi perdagangan Indonesia dengan Timor Leste. Sehingga perbatasan diilihat sebagai daerah kerja sama antar Indonesia dan Timor leste dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah perbatasan kedua Negara. Fungsi ini sangat penting mengingat realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan darat dengan Timor leste masih terbelakang, dengan kondisi wilayah yang umumnya terpencil, tingkat pendidikan dan kesehatan rendah dan banyak dijumpai penduduk miskin. Apabila fungsi kesejahteraan dapat diwujudkan akan berdampak positif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat perbatasan. Terciptanya kesejahteraan masyarakat akan berdampak langsung terhadap daya tangkal terhadap berbagai kegiatan illegal maupun provokasi pihak lawan yang dapat membahayakan kedaulatan Negara. Dengan kata lain, terlaksananya fungsi kesejahteraan yang mantap di wilayah perbatasan dapat secara efektif membantu menciptakan suatu kekuatan ipoleksosbud dan pertahanan keamanan.

Fungsi ketiga adalah fungsi lingkungan dimana fungsi ini terkait dengan karakteristik di wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang Negara yang mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional.

Sumber Ancaman

Perbatasan RI-RDTL sebagaimana diuraikan diatas memiliki peran yang sangat strategis dimana sebagai pintu gerbang negara, segala kegiatan di wilayah perbatasan dapat mempengaruhi kedaulatan dan yuridiksi negara baik di darat maupun laut, serta mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan keamanan Indonesia.

Atas dasar pemahaman ini Perbatasan RI-RDTL perlu mendapat perhatian dan dicermati perkembangannya terlebih mengingat hingga saat ini di wilayah perbatasan khususnya perbatasan darat RI-RDTL masih ada persoalan yang berdimensi multi aspek. Salah satu aspek yang penting yang perlu diamati lebih lanjut dalam kerangka hubungan bilateral kedua Negara adalah masalah keamanan di wilayah perbatasan kedua Negara. Persoalan-persoalan keamanan di wilayah perbatasan berkaitan dengan dua hal utama yang menyangkut persoalan keamanan konvensional dan non-konvensional.

Pada bagian ini hanya akan dibahas persoalan keamanan konvensional yang lebih berfokus pada isu-isu yang merupakan ancaman terhadap wilayah, kedaulatan, ideologi dan identitas Negara terutama yang bersumber dari faktor-faktor eksternal.

Secara garis besar ancaman keamanan konvensional di perbatasan Indonesia Timor Leste dapat disebabkan hal-hal sebagai berikut ; Pertama, Demarkasi dan segmen bermasalah. Kedua, konflik internal dan situasi politik di Timor Leste. Ketiga, keberadaan eks-pengungsi/eks-milisi Timor Timur. Keempat, kehadiran Australia dan pasukan asing di wilayah Timor Leste.

Demarkasi dan segmen bermasalah. Kejelasan mengenai garis batas wilayah darat dan laut merupakan suatu keniscayaan penting bagi kedua negara. Pertama, untuk memberikan kepastian hukum atas yuridiksi wilayah teritorial suatu negara, yang di dalamnya terkait kedaulatan wilayah negara. Makna yang terkandung dalam konteks ini sangat luas tidak hanya menyangkut batas teritorial negara, tetapi juga mengait aspek lainnya, seperti pertahanan keamanan, kebebasan navigasi, lalu lintas perdagangan, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dan lain sebagainya. Kedua, kejelasan garis batas wilayah juga penting untuk menghindari potensi konflik perebutan atas klaim suatu wilayah tertentu, baik yang melibatkan antara Indonesia dan Timor Leste atau Indonesia-Timor Leste dengan negara ketiga, seperti Australia.

Sampai saat ini masih ada sekitar 4% dari keseluruhan garis batas darat yang masih menyisakan permasalahan karena belum ada kesepakatan bersama antara Indonesia dan Timor Leste terhadap beberapa segmen garis batas. Ada dua hal pokok yang menyebabkan permasalahan penetapan garis batas negara di darat antar RI-Timor Leste masih berlarut-larut yaitu faktor teknis (perbedaan interpretasi atau penafsiran atas aturan yang menjadi rujukan penentuan garis batas) dan non teknis (adanya penolakan masyarakat lokal atas garis batas darat sebagaimana yang telah ditentukan dan perebutan sumber daya alam oleh masyarakat lokal di sekitar wilayah perbatasan yang disebabkan oleh klaim mereka atas beberapa wilayah perbatasan dengan alasan faktor sejarah, ekonomi dan sosial budaya).

Segmen bermasalah tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, Un-Resolved Segment yang meliputi wilayah Kab Belu di daerah Memo/Delomil, Kab. TTU di daerah Bijael Sunan-Oben Manusasi, Kab Kupang di wilayah Noel Besi/Citrana. Kedua, Un-Surveyed Segment meliputi wilayah Subina, Pistana, Tububanat, Haumeniana.

Belum jelas dan tegasnya batas darat antara Indonesia dan Timor Leste di beberapa segmen tersebut diatas, pernah menimbulkan sejumlah persoalan pelik dalam hubungan bilateral kedua negara. Ketidakjelasan demarkasi merupakan salah satu faktor potensial yang memicu konflik antar warga kedua negara yang tinggal di wilayah perbatasan. Gangguan keamanan pernah terjadi di beberapa bagian wilayah secara sporadis dan berulang. Hal ini mengindikasikan bahwa ketidakjelasan batas darat Indonesia dan Timor Leste, sewaktu-waktu dapat meletupkan perselisihan, pertikaian dan konflik baik antar masyarakat atau antara masyarakat dengan aparat keamanan.

Insiden yang pernah terjadi antara lain adalah insiden 6 Januari 2006 yang terjadi di tepian sungai Malibaka. Insiden ini terjadi ketika pasukan UPF (Unido Patruofomento Fronteira) menembak mati tiga WNI eks pengungsi yang tinggal di dusun Sikutren Desa Rote, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu. Menurut pihak Timor Leste, mereka ditembak karena melintas perbatasan secara ilegal dan mereka adalah eks milisi yang telah sering melakukan infiltrasi ke wilayah Timor Leste. Namun, pihak RI menyatakan bahwa mereka tidak sedang melakukan aktivitas politik dengan penyusupan tetapi sedang melakukan aktivitas mencari ikan di sungai Malibaka. Pemerintah juga menyatakan kemarahannya karena penembakan tersebut tersebut terjadi tanpa peringatan dan ternyata mereka masih berada dalam batas wilayah Indonesia.

Insiden berdarah lainnya adalah konflik pertanahan di daerah Passabe- Miomaffe sebagai akibat ketidak jelasan garis batas darat yang terjadi pada September-Oktober 2005. Selama periode ini terjadi sembilan kali insiden, di mana ratusan penduduk desa yang tinggal saling bersebelahan di kawasan perbatasan Timor Barat dan Distrik Oecusse saling melakukan pembakaran ladang dan gubuk-gubuk serta menyerang satu sama lainnya dengan lemparan batu. Kerusuhan ini bersumber pada permasalahan berupa ketidaksepakatan antara masyarakat lokal tentang penggunaan lahan di sekitar perbatasan seluas sekitar tiga kilometer persegi yang terletak di desa Manusasi, Kab TTU yang berbatasan dengan Distrik Oecusse. Masyarakat Oecusse mendasarkan klaim mereka pada pilar yang dibuat pada tahun 1904 antara Belanda dan Portugis dan aktivitas perladangan yang sudah lama mereka lakukan di wilayah tersebut. Sementara penduduk Timor Barat berpendapat bahwa pilar batas yang dibuat tahun 1904 diatas tidak bisa dijadikan rujukan karena telah terjadi tukar guling pemilikan secara adat tahun 1966. Sehingga mereka berpendapat bahwa tumpang tindih klaim tersebut tidak bisa memperoleh penyelesaian secara tuntas apabila mengesampingkan pertimbangan adat.

Pemerintah kedua negara di waktu itu akhirnya mampu meredam konflik dan ketegangan. Pada 25 Oktober 2005 terjadi kesepakatan untuk menetapkan daerah sengketa sebagai daerah steril dan pihak keamanan Indonesia dan Timor Leste bersepakat untuk melakukan patroli bersama dan tidak menembakkan senjata di kawasan steril tersebut.

Beberapa kasus di tahun 2009-2010 di wilayah sengketa baik di Un-Resolved Segment dan Un-Survey Segment sejauh ini masih dapat diselesaikan antara aparat keamanan perbatasan kedua negara dengan melaksanakan koordinasi secara intensif di lapangan. Pihak Satgas Pamtas selain berkoordinasi dengan UPF juga mengambil langkah dengan melaksanakan pemantauan daerah sengketa dengan patroli bersama dan melaporkan setiap perkembangan situai daerah sengketa ke Komando Atas. Hal ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya ketegangan dan timbulnya konflik antara masyarakat kedua negara maupun timbulnya hubungan yang kurang baik antara kedua negara.

Namun demikian beberapa waktu terakhir ini mulai diketemukan kegiatan pihak Timor Leste di daerah sengketa seperti pembangunan jalan baru yang dibuat oleh masyarakat Pasabe-Oecusse (Timor Leste sepanjang lebih kurang 450 m di wilayah sengketa Pistana (Un-Survey Segment), penemuan Pos UPF Kiubiselo di wilayah sengketa Subina (Un-Survey Segment). Selanjutnya ada indikasi pihak pemerintah Timor Leste sengaja melakukan propaganda dengan mengeluar statement/pernyataan bahwa Naktuka (Noel Besi) sudah menjadi milik Timor Leste, ditemukannya pembangunan kantor pertanian, rencana pembangunan kantor Imigrasi dan adanya kegiatan sensus oleh pemerintah Timor Leste pada tahun 2010 di wilayah Naktuka serta ditemukannya mesin traktor bantuan pemerintah Timor Leste merupakan indikasi Pihak RDTL melanggar kesepakatan bahwa daerah sengketa adalah daerah steril.

Hal tersebut diatas perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah karena sekecil apapun permasalah di perbatasan menyangkut pelanggaran batas berpotensi menjadi pemicu permasalahan dilapangan antara aparat keamanan yang bisa menjadi isu sensitif yang dampaknya bisa mengancam stabilitas keamanan perbatasan.

Konflik Internal dan Situasi Politik Timor Leste. Pengalaman dari krisis politik yang pernah terjadi di Timor Leste pada tahun 2006 sebagai akibat ketidakpuasan di tubuh aparat keamanan Timor Leste terhadap anggapan perlakuan diskriminatif berimbas pula ke daerah perbatasan dimana sebagian warga Timor Leste menyeberang ke wilayah Indonesia sehingga mengganggu kedaulatan negara-bangsa, terutama bila wilayah Indonesia dijadikan basis perlawanan bagi salah satu pihak yang berkonflik. Dari pengalaman kejadian tersebut perlunya terus diantisipasi situasi politik di Timor Leste berkaitan dalam waktu dekat negara tersebut akan menyelenggarakan pemilu Presiden agar apabila terjadi krisis politik di Timor Leste tidak berimbas terhadap wilayah perbatasan terutama antisipasi agar wilayah Indonesia tidak dijadikan basis perlawanan ataupun kegiatan politik lainnya sehingga tidak mengganggu instabilitas kawasan terutama apabila kekuatan asing ikut camput tangan.

Keberadaan eks pengungsi dan eks milisi Timor Timur. Persoalan eks pengungsi dan milisi yang saat ini bermukim di wilayah Timor Barat merupakan salah satu permasalahan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. Keterbatasan ekonomi dan keterbatasan “perhatian” pemerintah terhadap eks pengungsi yang saat ini kondisinya masih kurang terperhatikan berpotensi menimbulkan gangguan keamanan di masa mendatang yang harus diantisipasi.

Kehadiran Australia dan pasukan asing di Timor Leste. Kehadiran pasukan asing khususnya Australia berpotensi menciptakan persoalan tersendiri bagi Indonesia. Peran sebagai Deputy Sherrif di Asia merupakan wujud ambisi Australia ikut campur terhadap urusan negara lain. Kehadiran Australia berpeluang menciptakan sejumlah ancaman antara lain : (1) Kemungkinan Australia menjadikan Timor Leste sebagai pusat kegiatan intelijen untuk memata-matai negara-negara tetangganya yang berbatasan langsung; (2) kemungkinan infiltrasi melalui wilayah Timor Leste untuk memprovokasi perlawanan terhadap pemerintah pusat di daerah-daerah sekitar perbatasan RI-RDTL; (3) kemungkinan pihak-pihak tertentu di Australia mengekploitasi isu pengungsi, pelintas batas, dan gejolak sosial di daerah perbatasan untuk menciptakan gangguan keamanan; (4) kemungkinan provokasi aksi unjuk rasa di sekitar daerah perbatasan untuk memancing pelanggaran Ham oleh aparat keamanan Indonesia yang dapat di Blow-Up untuk mendeskreditkan Indonesia.

Informasi yang didapat dari pihak keamanan Timor Leste bahwa pemerintah Timor Leste saat ini merasa sudah tidak memerlukan kehadiran aparat keamanan/pasukan asing yang bertugas di Timor Leste dan memang pada bulan Juli 2011 ini masa tugas mereka berakhir. Namun ada indikasi upaya mereka untuk tetap melanjutkan tugasnya di Timor Leste dengan alasan aparat keamanan Timor Leste belum siap dan situasi keamanan yang belum kondusif sehingga mereka menganggap kehadirannya di Timor Leste masih sangat diperlukan. Hal tersebut perlu diwaspadai karena isu sekecil apapun tentang perbatasan akan di blow-up oleh mereka untuk mendiskreditkan aparat keamanan Indonesia dan memunculkan isu bahwa kondisi perbatasan tidak aman sebagai upaya mempertahankan kehadiran mereka di Timor Leste.

Penutup

Terbentuknya perbatasan RI-RDTL melewati proses yang panjang dimulai pada jaman kolonial saat terjadi perebutan wilayah antara Portugis dan Belanda, masa menjadi bagian NKRI selanjutnya Timor Leste lepas dari Indonesia dan menyatakan sebagai negara merdeka pada tahun 2002 yang mana sampai saat ini masih menyisakan beberapa persoalan.

Perbatasan mempunyai arti dan fungsi strategis dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya. Perbatasan negara merupakan perwujudan kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu, perbatasan negara memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keutuhan suatu wilayah. Dengan adanya batas negara ini, maka jelaslah kewenangan suatu bangsa dalam mengelola seluruh urusan pemerintahan yaitu meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Atas dasar pemahaman ini Perbatasan RI-RDTL perlu mendapat perhatian dan dicermati perkembangannya termasuk kemungkinan ancaman yang mungkin bakal terjadi.


Referensi.

1. Ganewati Wuryandari, Cahyo Pamungkas, Firman Noor, Bob Sugeng Hadiwinata (Oktober 2009), Keamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

2. Dephan RI (2010), Sosialisasi Penegasan Batas RI-RDTL , Jakarta : Dephan

2 komentar:

hel's mengatakan...

ayah, settingannya share to fb dunk yah...biar tulisan ayah bisa bunda share di fb nih....tulisannya bagus banget...pantesan kalo allu telepon bilangnya belajar...ooo ternyata belajar ngetik (Nulis) toooo xixixixi seeep seeep belajal telus...belajal telusss.....

Slamet Sp mengatakan...

ok....dwuehhhhh....thanks you....